Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

ICW Catat 5 Poin Upaya Pelemahan Pemberantasan Korupsi Melalui RKUHP

ICW menyatakan melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pemerintah seakan-akan ingin melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
zoom-in ICW Catat 5 Poin Upaya Pelemahan Pemberantasan Korupsi Melalui RKUHP
Tribunnews.com/ Fransiskus Adhiyuda
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana membeberkan lima poin terkait pelemahan sistematis terhadap penegakan hukum pemberantasan korupsi yang tertuang dalam naskah RKUHP. 

Hal itu, menurut ICW, berbeda jauh dengan UU tindak pidana khusus lain, seperti UU Narkotika atau UU Anti Pencucian Uang yang dendanya bisa mencapai Rp 10 miliar.

"Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, mestinya pidana denda dapat ditingkatkan," kata Kurnia.

Kedua, parsial memberatkan hukuman.

Mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ICW menyebutkan tindak pidana suap mendominasi penanganan perkara di lembaga antirasuah itu selama lebih dari lima belas tahun terakhir (791 perkara).

ICW menilai praktik suap menyuap masih terus merajarela di Indonesia.

Maka dari itu, dikatakan Kurnia, salah satu bentuk evaluasi atas kondisi tersebut dapat ditempuh melalui perbaikan regulasi dalam UU Tipikor.

Baca juga: Dewan Pers Sebut RKUHP Intervensi Sangat Serius Terhadap Kemandirian Pers

"Sebab, bukan tidak mungkin maraknya praktik suap-menyuap dikarenakan sanksi pemidanaan yang terbilang rendah sehingga tidak menghadirkan pemberian efek jera kepada pelaku," katanya.

BERITA TERKAIT

Hanya saja, menurut ICW, dalam naskah RKUHP, khususnya pasal yang berkaitan dengan pemberi suap, misalnya Pasal 610 ayat (1) masih mengikuti ketentuan lama, tanpa disertai pemberatan, yakni maksimal hanya 3 tahun penjara.

"Ini menandakan pembentuk UU tetap mengikuti pola lama tanpa ada reformulasi yang berorientasi pada pemberian efek jera," ujar Kurnia.

Ketiga, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

ICW mengkritik aturan soal penghitungan kerugian keuangan negara yang dinilai bertentangan dengan putusan MK.

Pada bagian penjelasan Pasal 607 RKUHP, Kurnia menyampaikan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan.

"Merujuk pada definisi itu, maka menurut pembentuk UU, pihak yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan," katanya.

"Jelas pembatasan aspek tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Bagaimana tidak, Mahkamah dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain, bahkan juga bisa membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut," imbuhnya.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas