VIDEO: Banding Vonis Bupati Kuansing Andi Putra, Ini Alasan KPK
Alasan tim jaksa penuntut umum (JPU) KPK mengajukan banding ialah tidak terpenuhinya soal tuntutan uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan upaya banding atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru kepada Bupati nonaktif Kuantan Singingi (Kuansing) Andi Putra.
Alasan tim jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan banding ialah tidak terpenuhinya soal tuntutan uang pengganti dan pencabutan hak politik.
"Tim jaksa KPK (2/8) telah menyatakan upaya hukum banding atas putusan Pengadilan Tipikor Pekanbaru yang memvonis terdakwa dengan penjara 5 tahun dan 7 bulan," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (3/8/2022).
KPK, kata Ali, berharap majelis hakim tingkat banding akan menerima upaya hukum tersebut dan memutus sesuai amar tuntutan tim jaksa KPK.
"Alasan banding di antaranya terkait tidak dipertimbangkannya soal tuntutan uang pengganti dan pencabutan hak politik terhadap terdakwa dimaksud," katanya.
Andi Putra merupakan terdakwa perkara suap terkait perpanjangan izin hak guna usaha (HGU) sawit di Kabupaten Kuansing, Riau.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru memvonis Andi Putra dengan pidana penjara selama 5 tahun dan 7 bulan ditambah denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Andi Putra terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana dakwaan alternatif kesatu Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Putusan itu lebih rendah dari tuntutan JPU KPK yang meminta Andi Putra divonis 8 tahun dan 6 bulan penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp500 juta.
Selain itu, JPU KPK juga meminta agar hakim menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa Andi Putra berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana.(*)