Indonesia Darurat BPA, Ini Berbagai Pihak yang Gaungkan Dukungan terhadap Regulasi BPOM
Desakan untuk meregulasi plastik polikarbonat yang mengandung senyawa kimia berbahaya, Bisfenol A (BPA) makin banyak digaungkan oleh berbagai pihak.
Penulis: Anniza Kemala
Editor: Bardjan
TRIBUNNEWS.COM - Desakan untuk meregulasi plastik polikarbonat yang mengandung senyawa kimia berbahaya, Bisfenol A (BPA) makin banyak digaungkan oleh berbagai pihak.
Semua yang menunjukkan dukungan terhadap langkah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam menerapkan regulasi pada kemasan galon BPA memiliki alasan yang serupa, yaitu demi menjaga kesehatan rakyat dan masa depan generasi muda Indonesia.
Terlebih lagi, efek berbahaya dari BPA telah dibuktikan oleh lebih dari 130 hasil studi yang beredar. Sejumlah studi menunjukkan, BPA dapat menimbulkan ga‘kemasan ini mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan, dan sistem reproduksi’ngguan hormon kesuburan pria maupun wanita, diabetes melitus dan obesitas, gangguan jantung, penyakit ginjal, kanker , hingga gangguan perkembangan anak.
Dengan segala risiko kesehatan tersebut, wajar bila masyarakat berhak mendapat perlindungan melalui label kemasan berisi informasi yang benar pada kemasan makanan dan minuman yang dikonsumsi, termasuk air minum dalam kemasan (AMDK).
Regulasi BPOM terbaru juga akan mewajibkan produsen AMDK yang menggunakan galon BPA untuk mencantumkan tulisan: “Berpotensi Mengandung BPA” pada tahap awal.
Dukungan PB IDI dan peneliti terhadap regulasi pelabelan BPA
Salah satu pihak yang menunjukkan dukungan terhadap regulasi pelabelan BPA adalah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945, PB IDI menyerukan dukungan kepada BPOM untuk memberlakukan regulasi pelabelan BPA pada kemasan plastik, khususnya galon isi ulang polikarbonat, demi keamanan dan perlindungan kesehatan masyarakat.
PB IDI menyebutkan, sejumlah negara sudah menerapkan pengaturan spesifik BPA pada kemasan pangan. Di eropa, Prancis, menurut pihak PB IDI, adalah salah satu negara pelopor pelarangan penggunaan BPA pada seluruh kemasan pangan dan minuman.
Lalu, ada juga negara bagian California di Amerika Serikat yang mewajibkan produsen untuk mencantumkan label ‘kemasan ini mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan, dan sistem reproduksi’.
“Sejumlah negara lain seperti Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia, juga sudah melarang penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman untuk konsumen usia rentan 0-3 tahun,” kata Agustina Puspitasari, Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI, dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Senin (15/8/2022).
Dukungan kepada BPOM juga datang dari kalangan akademisi dan peneliti, seperti epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono.
Menurutnya, regulasi BPOM untuk pelabelan pada galon BPA adalah langkah konsisten untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Pandu menyebut, kekhawatiran terkait bahaya BPA bersifat global dan dapat diukur dari penerapan regulasi ketat yang dilakukan di banyak negara, di mana kemasan pangan tidak lagi diperbolehkan menggunakan wadah mengandung BPA.
"Di beberapa negara, bahkan ada kewajiban pelabelan 'BPA Free' (Bebas BPA), tujuannya untuk edukasi masyarakat. Tujuan pelabelan BPA semata melindungi masyarakat. Jadi industri tak perlu berlebihan dalam bersikap," ungkap Pandu.
Lagi pula, menurut Pandu, produsen-produsen dunia sudah mengganti wadah produknya ke jenis plastik yang bebas BPA, salah satunya perusahaan makanan dan minuman multinasional yang berpusat di Prancis.
Akan tetapi, walaupun regulasi bebas BPA telah diterapkan di negara asal perusahaan tersebut, hal serupa belum dilakukan di unit-unit mereka yang terdapat di negara berkembang.
"Yang jadi pertanyaan, kenapa unit perusahaan tersebut di negara berkembang tidak mengadopsi hal serupa?" katanya.
Senada dengan Pandu, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Sofyan S. Panjaitan, mengatakan semua pihak perlu mendukung dan mendorong lahirnya regulasi pelabelan BPA.
"Memang sudah hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via Label & Iklan Pangan," katanya belum lama ini.
Sofyan berharap, regulasi BPA nantinya bisa dikembangkan secara menyeluruh terhadap semua kemasan pangan berbahan plastik.
Jepang sebagai contoh penggunaan plastik PET 100 persen
Faktanya, Indonesia dapat meninggalkan plastik BPA dan mencontoh hasil positif dari negara lain yang telah memilih jenis plastik kemasan makanan dan minuman yang lebih aman.
Salah satu contoh tepat adalah Jepang, yang sudah mempergunakan plastik jenis Polyethylene Terephthalate atau PET, yang dikenal relatif aman dan telah digunakan untuk kemasan makanan dan botol minuman di seluruh dunia.
“Jepang sudah meninggalkan plastik BPA dan beralih 100 persen ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan di negeri itu,” ujar Prof. Mochamad Chalid, pengajar dan peneliti Fakultas Teknik Universitas Indonesia, pada awal pekan ini.
Pada minggu pertama bulan Agustus ini, Prof. Chalid baru saja berpartisipasi dalam sebuah workshop tentang penggunaan plastik berbahan PET di Tokyo, Jepang.
Lebih jauh, Prof. Chalid mengatakan, riset yang sudah dilakukan sejauh ini mengkonfirmasi bahwa tidak ditemukan pelepasan senyawa antimon berbahaya dalam kemasan plastik PET.
“Di sisi lain, juga belum ditemukan adanya indikasi munculnya endokrin disruptor (senyawa yang bisa mengganggu sistem hormon tubuh, seperti yang terkandung dalam plastik BPA) dalam penggunaan plastik PET,” katanya.
Dengan makin kuatnya dukungan dari berbagai pihak, diharapkan langkah BPOM RI untuk menerapkan regulasi pelabelan galon BPA akan makin teguh.
Upaya pelabelan galon BPA ini tak hanya menjadi bentuk edukasi, namun juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat sebagai konsumen.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.