Setiap Tahun di Indonesian, 350 Ribu Perempuan Lakukan Pernikahan di Bawah Umur
Perkawinan anak di Indonesia masih masif, padahal kata Rohika banyak dampak negatif yang timbulkan termasuk dua kali risiko kematian bagi ibu hamil
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Setiap tahun, sebanyak 350 ribu anak perempuan menikah di bawah usia 19 tahun sedangkan ada 50 ribu anak laki-laki yang menikah di bawah usia 19 tahun sehingga, permasalahan pernikahan masih jadi pekerjaan bersama.
Hal ini diungkapkan oleh Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Rohika Kurniadi Sari, SH, MSi
Dalam pemaparannya, Rohika pun menyebutkan jika terdapat 5 provinsi dengan peningkatan perkawinan anak. Di antaranya Sulawesi Barat, Bengkulu, Maluku, DKI Jakarta dan Yogyakarta.
Lantas apa yang menjadi faktor dari perkawinan anak. Menurut Rohika, salah satu faktor karena pandemi Covid-19. Faktor penyebab lainnya adalah anak perempuan di desa dua kali berisiko melakukan pernikahan dibandingkan di kota.
Baca juga: NTB Zona Merah Stunting, Pernikahan Dini Satu di Antara Sekian Penyebabnya
Lalu, faktor lain adalah anak perempuan dengan kuintil pengeluaran rumah tangga yang rendah, tiga kali hampir menikah di usia 18 tahun. Lalu ada pula karena tingkat pendidikan yang rendah
Perkawinan anak di Indonesia masih masif, padahal kata Rohika banyak dampak negratif yang timbulkan.
Pertama, terjadi dua kali risiko kematian bagi ibu.
Lalu dua kali alami preeklamsia, atau komplikasi kehamilan berpotensi berbahaya yang ditandai dengan tekanan darah tinggi.
Adanya kontraksi rahim tidak optimal dan risiko lahir prematur.
Perkawinan anak berisiko alami kanker Serviks hingga 17,2 persen. Selain itu berisiko alami kanker Payudara sampai 30 persen. Jika memiliki anak, sekitar 4,5 kali berpeluang terjadinya kehamilan risiko dan stunting.
"Selain itu kita sadari bahwa dampak pertama yang dirasakan adalah banyak putus sekolah, angka kematian ibu dan bayi tinggi,dan banyak munculnya pekerja anak,. Hal ini menjadi pekerjaan kita bersama,"ungkapnya dalam rangkaian acara Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health 2022 (ICIFPRH) di Yogyakarta, Selasa (23/8/2022).
Belum lagi dari sisi psikis. Anak yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun berisiko menderita disorder depresi hingga 53 persen. Lalu sekitar 30-40 persen anak yang lahir dari pasangan anak di bawah umur berisiko alami stunting.
Tantangan Pemerintah Selesaikan Perkawinan Anak*
Menurut Rohika, ada banyak tantangan yang dihadapi dalam penyelesaian perkawinan anak. Indonesia sendiri terdiri dari beragam budaya dan belasan ribu pulau.
"Dari anak itu sendiri saja daya resiliensi rendah. Ditambah tantangan sekarang jauh lebih sulit. Perilaku berisko selalu menghantui mereka. Lalu orangtua, keluarga, lingkungan belum paham soal berupaya untuk mencegah perkaiwnan anak," papar Rohika.
Di sisi lain, masih saja ada yang membenarkan praktik perkawinan anak tersebut. Regulasi sebenarnya telah ada, namun belum terealisasi dan tersosialisasi. Belum lagi pola pikir dan perilaku masyarakat yang turut memengaruhi.
"Perlu penguatan kebijakan yang masif dan, holistik. Tantangan lain adalah layanan dan menjadi hal yang perlu dicermati bersama. Misalnya saja layanan kesehatan alat reproduksi dan edukasi kesiapan pernikahan yan kurang," kata Rohika lagi.
Menurutnya saat masih kurang rujukan layanan anak-anak yang mengalami praktik perkawinan di bawah umur. Masih banyak layanan yang belum terjangkau. Hal ini, kata Rohika karena belum optimal dan saling sinergi program antar pemerintah.