Alasan Besaran Tunjangan Guru Tak Ada Lagi dalam RUU Sisdiknas
Simak penjelasan kenapa pasal soal besaran tunjangan tidak ada lagi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).
Penulis: Lanny Latifah
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah resmi mengajukan RUU Sisdiknas dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Tahun 2022 kepada DPR RI.
Usulan tersebut disampaikan pada Rapat Kerja Pemerintah dengan Badan Legislasi pada Rabu (24/8/2022) lalu.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyebut, RUU Sisdiknas menjadi kebijakan yang paling berdampak positif bagi kesejahteraan para guru.
Kebijakan untuk memberikan penghasilan layak bagi semua guru merupakan upaya pemerintah menjawab keluhan para guru selama ini.
Baca juga: 5 Perubahan RUU Sisdiknas: Wajib Belajar 13 Tahun, Pendidikan Pancasila jadi Mapel Wajib
"Belum pernah ada rancangan Undang-Undang yang benar-benar punya dampak lebih holistik dan terintegrasi terhadap peningkatan kesejahteraan guru."
"Mungkin RUU Sisdiknas akan menjadi kebijakan yang paling berdampak positif kepada kesejahteraan guru," ujar Nadiem melalui keterangan tertulis, Rabu (31/8/2022).
Lantas, kenapa pasal soal besaran tunjangan tidak ada lagi dalam RUU Sisdiknas?
Melansir laman sisdiknas.kemdikbud.go.id, hal tersebut dikarenakan UU ASN dan UU Ketenagakerjaan sudah mengatur mekanisme penentuan penghasilan yang layak.
Sehingga dengan mengikuti mekanisme yang sudah diatur dalam kedua undang-undang tersebut, guru akan lebih cepat mendapatkan penghasilan yang layak.
Hal ini merupakan bagian dari strategi untuk memberikan pendapatan yang layak bagi guru yang disusun Kemendikbudristek.
UU Guru dan Dosen adalah penyebab utama terhambatnya penghasilan yang layak bagi guru karena membuat mekanisme terpisah dari UU ASN dan UU Ketenagakerjaan berdasarkan sertifikasi.
Baca juga: Soal RUU Sisdiknas, Kemendikbud: Guru yang Penuhi Syarat Masih Dapat Tunjangan Profesi
Akibatnya, guru tidak bisa mendapatkan penghasilan yang sepantasnya karena menunggu antrean sertifikasi yang panjang.
Ke depannya, sertifikasi hanya berlaku untuk calon guru baru.
Sementara guru yang sudah mengajar, tapi belum sertifikasi diputihkan kewajibannya dan langsung mengikuti mekanisme dalam UU ASN dan UU Ketenagakerjaan untuk mendapatkan penghasilan yang layak.
Sebagai informasi, Nadiem juga mengingatkan bahwa Kemendikbudristek telah memperjuangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) agar dapat digunakan secara fleksibel.
Salah satunya untuk pembiayaan penghasilan guru honorer termasuk pada saat pandemi.
"Fleksibilitas itu terus kami lanjutkan sampai sekarang. Kami juga memperjuangkan bantuan subsidi bagi guru, dan tentunya sebanyak 300.000 guru honorer yang sudah menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) merupakan sebuah capaian yang besar," jelas Nadiem.
(Tribunnews.com/Latifah/Fahdi Fahlevi)