Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Enam dari 7 Kejanggalan Dugaan Pelecehan Seksual Putri Candrawathi Diungkap LPSK, Apa Saja?

Enam dari tujuh kejanggalan diungkap LPSK terkait adanya dugaan pelecehan seksual yang dialami Putri dalam hasil temuan dan rekomendasi Komnas HAM.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Enam dari 7 Kejanggalan Dugaan Pelecehan Seksual Putri Candrawathi Diungkap LPSK, Apa Saja?
(ISTIMEWA)
Kolase Foto Tribunnews.com: Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf, Brigadir J. Enam dari tujuh kejanggalan diungkap LPSK terkait adanya dugaan pelecehan seksual yang dialami Putri dalam hasil temuan dan rekomendasi Komnas HAM. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkap 7 kejanggalan soal adanya dugaan pelecehan seksual yang dialami Putri Candrawathi dalam hasil temuan dan rekomendasi Komnas HAM.

Sebelumnya dugaan pelecehan seksual itu dikatakan terjadi saat Putri Candrawathi masih berada di Magelang yang diduga dilakukan oleh almarhum Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J.

 Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan adanya kejanggalan dari hasil tersebut.

Setidaknya menurut Edwin ada tujuh poin yang dinyatakan janggal oleh LPSK. Namun Edwin hanya menyebutkan enam di antaranya.

Baca juga: Komnas HAM Berandai soal Sidang Ferdy Sambo, Singgung Pelecehan yang Diduga Dilakukan Brigadir J

Sementara satu kejanggalan lainnya akan disampaikan LPSK setelah penyidik mengungkap semuanya.

Berikut enam dari tujuh kejanggalan yang diungkap LPSK terkait adanya dugaan pelecehan seksual yang dialami Putri Candrawathi dalam hasil temuan dan rekomendasi Komnas HAM:

1. Ada Kuat Maruf dan Susi

Berita Rekomendasi

Pertama soal kecilnya kemungkinan terjadi peristiwa pelecehan seksual. Sebab saat kejadian di Magelang saat itu, masih ada Kuat Maruf dan saksi Susi.

"Kan waktu peristiwa itu, yang diduga ada perbuatan asusila itu, itu kan masih ada Kuat Maruf dan Susi, yang tentu dari sisi itu kecil kemungkinan terjadi peristiwa," kata Edwin saat dikonfirmasi awak media, Minggu (4/9/2022).

2. Masih Bisa Teriak

Karena masih adanya Kuat Maruf dan saksi Susi, Erwin mengatakan jika benar peristiwa pelecehan itu terjadi, maka setidaknya Putri Candrawthi masih bisa teriak saat itu.

"Kalaupun terjadi peristiwa kan si ibu PC masih bisa teriak," ujar Edwin.


3. Relasi Kuasa

Edwin menyatakan, dalam kasus pelecehan seksual yang ditangani LPSK erat kaitannya dengan relasi kuasa.

Relasi kuasa yang dimaksud dalam hal ini, yakni sang pelaku lebih tinggi kodratnya dibandingkan korban.

Contohnya terjadi kekerasan seksual yang melibatkan guru dengan murid, atau bos dengan stafnya.

Baca juga: Putri Candrawathi Disebut Pernah Hubungi Ibu Brigadir J, Janji Merawat Yosua seperti Anak Kandung

"Kedua, dalam konteks relasi kuasa. Relasi kuasa tidak terpenuhi karena J adalah anak buah dari FS (Ferdy Sambo, red). PC adalah istri Jenderal," kata dia.

"Ini dua hal yang biasanya terpenuhi dalam kasus kekerasan seksual pertama relasi kuasa, kedua pelaku memastikan tidak ada saksi," sambung Edwin.

4. PC Masih Menanyakan Keberadaan Yosua

Selanjutnya, setelah kejadian yang diduga ada pelecehan seksual itu, ada percakapan antara Putri Candrawathi kepada tersangka Bripka Ricky Rizal (RR).

Dalam kesempatan itu kata Edwin, Putri Candrawathi masih menanyakan keberadaan Brigadir Yosua.

Edwin menilai, kondisi itu semestinya tidak terjadi, di mana ada seorang diduga korban seksual yang menanyakan keberadaan pelaku.

"Yang lain adalah bahwa PC masih bertanya kepada RR ketika itu di mana Yosua, jadi agak aneh orang yang melakukan kekerasan seksual tapi korban masih tanya di mana Yosua," kata dia.

5. Brigadir Yosua dan Putri Candrawathi Kerap Bertemu

Kejanggalan keempat menurut Edwin, setelah adanya peristiwa dugaan pelecehan seksual itu terjadi, Brigadir Yosua dan Putri Candrawathi kerap bertemu.

Bahkan, saat sudah tiba di rumah pribadi, di Jalan Saguling III, Duren Tiga, Jakarta Selatan, keduanya terlihat dari rekaman CCTV datang bersamaan dan memasuki rumah yang sama.

Karena adanya pertemuan antara Putri Candrawathi dengan seorang pelaku, LPSK menilai kondisi itu janggal.

"Kemudian Yosua dihadapkan ke ibu PC hari itu di tanggal 7 di Magelang itu di kamar dan itu kan juga aneh seorang korban mau bertemu dengan pelaku kekerasan seksualnya apalagi misalnya pemerkosaan atau pencabulan," ucap dia.

6. Masih Satu Rumah

Kejanggalan lainnya menurut Edwin adalah bahwa Brigadir Yosua dan Putri Candrawathi masih berada satu rumah sejak tanggal 7 Juli di Magelang hinggsa sampai Jakarta.

"Yang lain itu, Yosua sejak tanggal 7 sampai tanggal 8 sejak dari Magelang sampai Jakarta masih satu rumah dengan PC," sambung dia.

Baca juga: Peran Brigjen Hendra dalam Kasus Brigadir J: Hilangkan CCTV, Larang Rekam Jasad Yosua karena Aib

Hal itu dinilai janggal, karena diketahui yang memiliki kondisi lebih kuasa dalam kasus ini adalah seorang yang
diduga korban yakni Putri Candrawathi yang merupakan istri Jenderal bukan diduga pelaku.

"Ya kan? Korban yang punya lebih kuasa masih bisa tinggal satu rumah dengan terduga pelaku. Ini juga ganjil janggal. Lain lagi J masih dibawa oleh ibu PC ke rumah Saguling. Kan dari Magelang ke rumah Saguling," tutur dia.

Kendati demikian, Edwin masih belum bisa mengungkapkan lebih detail kejanggalan lain yang didapati LPSK.

Kata dia, saat ini masih dalam penyidikan tim dari Polri sehingga nanti baru akan di-update jika memang penyidikan tersebut rampung dilakukan.

"Nanti kalau sudah dibuka oleh penyidik saya tambahkan. Ada 7 kejanggalan atas dugaan peristiwa asusila atau pelecehan seksual di Magelang. Tapi saya hanya bisa sebutkan 6," kata dia.

Ketua LPSK Hasto Atmojo menyampaikan, LPSK mendapatkan sejumlah informasi dari kala proses asesmen perihal pengajuan justice collaborator oleh Bharada Richard Eliezer atau Bharada E.

"Bharada E sudah menyampaikan motif ke LPSK. Itu didapat saat proses asesmen JC," kata Hasto.

Hasto menambahkan, meski banyak menerima keterangan terkait motif pembunuhan itu, LPSK tidak berwenang untuk mengungkap hal itu ke publik.

Sebab, untuk berkaitan motif adalah hak dan wewenang ranah kepolisian untuk mempublikasikan.

"Iya ada beberapa keterangan terkait motif Bharada E. Tapi itu sebaiknya tidak buka, biar itu ranah Kepolisian," ungkapnya.

Hasto menambahkan, peran Bharada E sebagai justice collaborator dinilai sangatlah penting untuk segera mengungkap motif pembunuhan Brigadir J.

Untuk itu, keterangan yang disampaikan Bharada E berimbas pada terbantahkannya skenario yang dibuat Irjen Ferdy Sambo yang awalnya peristiwa itu adalah tembak menembak.

"Iya karena keterangan itu sangat kunci berkat kesaksian dia. Karena itu lah semua skenario berantakan," ujar dia.

Untuk menjaga keterangan tetap dalam koridor kesaksian hukum, LPSK berkomitmen mendampingi Bharada E agar pernyataan-pernyataan tidak berubah.

Baca juga: Kantongi Informasi Soal Motif Pembunuhan Brigadir J, LPSK Sebut Bharada E Beri Banyak Fakta Penting

Bahkan, LPSK akan terus mengawal Elizier sampai nanti proses persidangan dimulai.

"Ini yang harus kita selamatkan keterangan-keterangan Bharada E ini diharapkan sampai akhir persidangan konsisten nggak? Jujur tetap. Kami akan terus dampingi," kata Hasto.

Sebelumnya, Komnas HAM RI mengungkapkan lima poin kesimpulan dari proses pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang HAM terhadap kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara mengungkapkan kesimpulan pertama adalah telah terjadi peristiwa kematian Brigadir J pada 8 Juli 2022 di rumah dinas eks Kadiv Propam Polri di Duren Tiga Nomor 46 Jakarta Selatan atau rumah dinas Ferdy Sambo.

"Kedua, peristiwa pembunuhan Brigadir J dikategorikan sebagai tindakan Extra Judicial Killing," kata Beka saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Kamis (1/9/2022) lalu.

Ketiga, kata Beka, berdasarkan hasil autopsi pertama dan kedua ditemukan fakta tidak adanya penyiksaan terhadap Brigadir J, melainkan luka tembak.

Keempat, terdapat dugaan kuat terjadinya peristiwa Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Saudari PC (Putri Candrawathi atau istri Ferdy Sambo) di Magelang tanggal 7 Juli 2022.

"Kelima, terjadi Obstruction of Justice dalam penanganan dan pengungkapan peristiwa kematian Brigadir J," kata Beka.

Terkini, Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik resmi menyerahkan laporan dan rekomendasi dari pemantauan dan penyelidikan terhadap kasus pembunuhan Brigadir Nofriansya Yosua Hutabarat alias Brigadir J kepada jajaran Tim Khusus Polri di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat.

Taufan mengatakan, di dalam laporan dan rekomendasi tersebut juga termuat laporan khusus dari Komnas Perempuan.

Ia menjelaskan Komnas HAM melakukan tugas penyelidikan dan pemantauan dalam kasus tersebut sebagaimana mandat Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Taufan juga mengulas dua kesepakatan awal antara Komnas HAM dan pihak Kepolisian terkait pemantauan dan penyelidikan kasus tersebut.

Pertama, kata dia, adalah kesepakatan untuk keterbukaan dan akuntabilitas. Kedua, lanjut dia, kesepakatan untuk Komnas HAM ini diberikan aksesibilitas.

Komnas HAM, kata dia, tentu saja sebagai lembaga mandiri memberikan laporan pembanding.

Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Polri agar segara menahan Putri Candrawathi yang menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J bersama dengan suaminya Ferdy Sambo.

Baca juga: Terungkap Fakta Baru, Detik-detik Jelang Bharada E Tembak Brigadir J, Ferdy Sambo Sempat Ucapkan Ini

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso mengutarakan, setidaknya ada tiga alasan mengapa Putri Candrawathi untuk segera ditahan.

Pertama, Putri adalah tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Dalam kasus ini, Putri diduga turut andil dalam melancarkan peristiwa pembunuhan di rumah dinas Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.

"Satu, syarat objektif penahanan terpenuhi, terlebih kasus ini adalah kasus pembunuhan berencana dan ibu PC sebagai tersangka pembunuhan berencana," ujar Sugeng.

Sugeng menilai, penyidik wajib menjaga konsistensi penyidikan kasus ini karena Putri dinilai tak kooperatif.

Bahkan, ketika Putri telah ditetapkan sebagai tersangka, maka sudah sepatutnya Putri ditahan untuk kepentingan penyidikan.

"Yang kedua, ibu PC saat ini menurut IPW tidak kooperatif. Terbukti adanya keterangan yang berbeda-beda dengan saksi maupun tersangka lain," kata dia.

"Hal tersebut adalah dapat dikualifikasi ibu PC tidak kooperatif. Salah satu alasan penahanan adalah tidak kooperatif," jelas Sugeng.

Ketiga, Sugeng mengatakan, alasan kemanusiaan yang membuat Putri tak ditahan merupakan tindakan diskriminatif.

Sebab, jika dibandingkan dengan kasus serupa di mana tersangkanya seorang wanita, nyatanya banyak yang harus mendekam di sel tahanan.

"Karena dalam perkara lain, banyak wanita di dalam, kelompok masyarakat bawah tetap ditahan oleh polisi terkait kasus yang menimpa mereka," katanya.

Atas fenomenaini, Sugeng lantas mempertanyakan sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang pernah berujar bahwa hukum tak boleh lagi bersifat tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Ia menagih komitmen itu untuk ditunjukkan dalam pengusutan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

"Bahkan IPW mengingatkan Kapolri atas pernyataannya hukum tidak boleh tumpul ke atas tajam ke bawah. Pak Kapolri harus konsisten terkait hal ini," ujar dia.

Sugeng khawatir, sikap Timsus tak menahan Putri meski berstatus tersangka akan ditafsirkan masyarakat sebagai bentuk ketidakkonsisten dalam penyidikan kasus ini.

"Dengan kedudukan ibu PC sebagai pejabat utama Polri, ternyata pernyataan pak Kapolri tidak konsisten. Ketidakkonsistenan Timsus ini menunjukkan perilaku diskriminatif kepada warga lain," kata Sugeng.(Tribun Network/fan/riz/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas