Kritik Salah Alamat, Kampanye Greenwashing Kaburkan Isu Nyata Terkait Sampah Plastik
Penggiringan opini oleh lobi industri dapat merugikan seluruh pihak yang terlibat dalam rantai daur ulang sampah plastik.
Penulis: Anniza Kemala
Editor: Bardjan
“Ada pihak tertentu yang ingin melenyapkan AMDK galon polikarbonat dari pasar,” sebut Rachmat Hidayat dalam webinar tersebut.
Yang berbeda dari biasanya, Rachmat tak mengelak bahwa sampah berukuran kecillah yang justru mendominasi timbulan sampah pada webinar tersebut. Data pasar tahun lalu dari organisasinya menunjukkan bahwa Produksi kemasan gelas bersedotan 220 ml mencapai 10,4 milyar pcs/tahun.
Jumlah ini menyumbang timbulan sampah sekali pakai yang mencapai 46 ribu ton/tahun, atau 26 persen dari total timbulan sampah AMDK. Disebutkan juga bahwa sumbangan sampah dari market leader di kemasan ini mencapai jumlah 5300 ton/tahun.
Sebelumnya Rachmat Hidayat secara lantang menyatakan revisi Peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, yang menurutnya akan menimbulkan efek sulit dikendalikan. Rachmat mengklaim bahwa sebagai akibat dari peraturan tersebut, akan ada tambahan 70 ribu ton sampah plastik per tahun dari galon sekali pakai di TPA.
Menurut pemerhati ekonomi sirkular dari Nusantara Circular Economy & Sustainability Initiatives (NCESI), Yusra Abdi, kritik terhadap rencana regulasi BPOM ini merupakan kritik yang salah alamat.
“Kritik terhadap rencana regulasi BPOM itu salah kaprah dan hanya mengikuti penolakan dari pihak industri,” kata Yusra belum lama ini.
Yusra menambahkan, sejak semula lobi industri sudah melontarkan banyak alasan untuk menghambat regulasi BPOM.
"Salah satunya adalah dengan menyebut aturan pelabelan risiko polikarbonat bakal menambah jumlah sampah plastik, karena publik bakal terdorong untuk meninggalkan galon isi ulang dan beralih ke galon sekali pakai yang bebas BPA,” kata Yusra.
Padahal, menurut Yusra, seluruh air mineral non-galon yang beredar di pasar, kecuali kemasan gelas yang berbahan plastik polypropylene, menggunakan kemasan plastik sekali pakai dari jenis Polyethylene Terephthalate (PET), yang merupakan jenis plastik lunak bebas BPA. Semua produk kemasan botol plastik dari pemegang market share terbesar di Indonesia pun turut menggunakan plastik PET.
"Penjualan terbesar produsen air kemasan terbesar di Indonesia salah satunya bersumber dari penjualan kemasan single pack size yang semuanya berbahan PET alias sekali pakai," kata Yusra.
"Bila masalahnya memang plastik sekali pakai, mengapa asosiasi industri tidak pernah mempersoalkan potensi sampah dari penjualan produk sekali pakai mereka yang masif itu?” tandasnya.
Pihak lain yang turut mengungkapkan kekecewaan mereka pada kampanye negatif yang digalang lobi industri dengan strategi greenwashing adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Net Zero Waste Consortium.
“Kampanye greenwashing ini kalau dilakukan terus menerus bisa dianggap jadi kebenaran,” kata Ahmad Safrudin dari LSM Net Zero Waste Consortium.
“Lobi industri bisa dengan nyaman melindungi bisnis AMDK mereka yang tidak aman dan menyebabkan timbulan sampah tak pernah selesai, bukan cuma berceceran di jalan-jalan tapi juga menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA),” terangnya.