Mengenal Pasukan Cakrabirawa yang Terseret dalam Operasi G30S
Cakrabirawa merupakan pasukan pengawal Presiden Soekarno. Sebagian pasukan Cakrabirawa terlibat penculikan jenderal pada peristiwa G30S.
Penulis: Enggar Kusuma Wardani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Tjakrabirawa atau Cakrabirawa merupakan Pasukan Pengawal Istana pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Pada pidatonya, Presiden Soekarno mengatakan pembentukan Resimen Cakrabirawa adalah sebuah keharusan bagi Indonesia pada masa revolusi kala itu.
Dikutip dari journal.student.uny.ac.id, tugas pokok pasukan Cakrabirawa adalah memastikan keamanan dan keselamatan kepala negara beserta keluarganya.
Tugas tersebut harus dilaksanakan baik di dalam istana-istana, tempat-tempat kediaman resmi kepala negara beserta keluarganya, serta ditempat lain di mana kepala negara beserta keluarganya berada.
Diketahui, pasukan Cakrabirawa berasal dari semua unsur ABRI baik Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian.
Untuk menjadi anggota Cakrabirawa tidak mudah dan melalui seleksi ketat.
Baca juga: Sejarah Terbentuk dan Bubarnya Resimen Cakrabirawa, Pasukan yang Menculik 7 Jenderal dalam G30S
Berbagai tes seperti psikotes, loyalitas dan lain-lain harus mereka lewati sebagai syarat wajib untuk bergabung menjadi anggota Cakrabirawa.
Anggota-anggota yang ditugaskan dalam Resimen Cakrabirawa adalah putra-putra utama dari tiap angkatan yang benar-benar terpilih dan akan menjadi kebanggaan dari tiap angkatan.
Kendati demikian, tahun 1965 menjadi tahun genting bagi resimen Cakrabirawa, yaitu saat peristiwa dan pasca-G30S terjadi.
Awal mula insiden berdarah pada awal Oktober terjadi lantaran kelompok Letkol Untung menilai Dewan Jenderal adalah musuh yang harus disingkirkan karena tidak loyal pada Presiden Soekarno dan Revolusi.
Letkol Untung pun merancang operasi G30S dengan membentuk empat kelompok yang diberi tugas masing-masing, yaitu Pasopati, Bimasakti, Gatotkatja, dan Pringgodani.
Kelompok Pasopati bertugas menculik sejumlah jenderal dituding akan melakukan kudeta melalui Dewan Jenderal.
Mereka kemudian dibawa ke Lubang Buaya dimana mereka dibunuh.
Para Jenderal yang tidak loyal itu, di mata pasukan penculik layak dianggap pengkhianat.
Apalagi sebelumnya telah beredar isu bahwa ada kepentingan Kapitalis di belakang Dewan Jenderal, yang umumnya Anti- Komunis itu.
Baca juga: Sejarah Terbentuk dan Bubarnya Resimen Cakrabirawa, Pasukan yang Menculik 7 Jenderal dalam G30S
Kelompok penculik itu kabur tengah malam dari asrama, naik truk menuju Lubang Buaya untuk memenuhi ajakan Letnan Kolonel Untung untuk 'membersihkan' Angkatan Darat.
Terkait operasi itu, Letkol Untung mengatakan gerakan itu adalah gerakan militer AD, tetapi keterlibatannya adalah tanggung jawab pribadi sepenuhnya.
Ia tidak sekalipun mengatasnamakan Cakrabirawa.
Wilayah operasi Letkol Untung sendiri berada di luar area wewenang Cakrabirawa yang berada di bawah wewenang KODAM (Komando Daerah Militer).
Ia dan pasukannya juga tidak di-BP-kan ke KODAM Jakarta Raya yang juga bertanggung-jawab atas keselamatan Presiden.
Akhir dari Cakrabirawa
Dikutip dari repository.unair.ac.id, pasca-peristiwa G30S anggota Cakrabirawa menjalani tugas-tugas berat.
Hal ini karena tugas pengamanan Istana Merdeka dan Istana Negara diserahkan dari Batalyon I KK kepada Batalyon II KK setelah sebagian anggota Batalyon I KK terlibat dan ikut serta dalam peristwa G30S.
Tugas pengamanan menjadi berat karena Cakrabirawa harus mengamankan Istana yang dikepung dan terancam dimasuki gelombang demonstrasi para mahasiswa dan pasukan tentara yang berasal dari Kostrad dan RPKAD.
Berdasarkan Maulwi Saelan dalam bukunya Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66, pada saat Kabinet Seratus Menteri dilantik pada 24 Februari 1966, mahasiswa yang didukung oleh Kostrad dan RKPAD memblokade jalan masuk Istana yang dilalui para calon menteri yang akan dilantik.
Baca juga: Profil Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa Pemimpin G30S, Nasibnya Tak Seberuntung Namanya
Mahasiswa dan tentara menguasai jalan menuju Istana dan menahan mobil-mobil kemudian menggembosi ban-bannya.
Para calon menteri yang akan dilantik pun terpaksa berjalan kaki.
Para anggota resimen Cakrawrawa yang memang ditugaskan menjaga Istana tetap melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya hingga acara pelantikan tetap bisa berjalan.
Resimen Cakrabirawa akhirnya dibubarkan pasca-keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Tepatnya pada 23 Maret 1966, terbit Keputusan bersama keempat Menteri Panglima Angkatan (Darat, Laut, Udara, dan Polisi) No 6/3/1966 yang memutuskan menyerahkan tugas menjamin keselamatan presiden dan keluarganya dari Cakrabirawa ke Polisi Militer.
Pada 28 Maret 1966, dilakukan serah terima tugas untuk menjamin keselamatan pribadi/Presiden/Panglima Tertinggi ABRI beserta keluaranya dari Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa, ke Brigjen Sudirgo, Direktur Polisi Militer.
Pasca-penyerahan itu, Cakrabirawa dibubarkan dan anggotanya dikembalikan ke masing-masing angkatannya.
Selanjutnya, tugas penjagaan Istana Presiden, baik yang ada di Jakarta maupun di Bogor dan Cipanas, digantikan oleh Satgas Pomad (Polisi Militer Angkatan darat) yang dipimpin oleh Kolonel CPM Norman Sasono.
Hanya anggota DKP (Detasemen Kawal Pribadi) yang terdiri dari personel Kepolisian yang masih dipercaya mengawal Bung Karno dan keluarganya.
Baca juga: Untung Mengenang Sosok Ayahnya Jenderal Ahmad Yani, Bertengkar dengan Cakrabirawa Sebelum Ditembak
Letkol Untung Dijatuhi Hukuman Mati
Dilansir Tribunnews.com, seusai G30S meletus dan Letkol Untung gagal dalam operasinya, ia melarikan diri ke arah Semarang, Jawa Tengah, pada 11 Oktober 1965 dengan mengendarai bus.
Kala itu, dua tentara tak dikenal menumpang bus yang dinaiki Letkol Untung.
Tak ingin tertangkap, Letkol Untung melompat keluar bus dan tubuhnya menghantam tiang listrik.
Sikap Letkol Untung yang menimbulkan kecurigaan justru membuatnya dikira seorang copet.
Dua tentara itupun mengejar Letkol Untung hingga akhirnya tertangkap warga di sekitar Asem Tiga Kraton, Tegal.
Saat tertangkap, ia sempat dihajar massa dan tak mengaku namanya adalah Untung.
Dua tentara yang merupakan anggota Armed itu juga tak menyangka, yang ditangkapnya adalah mantan Komando Operasional G30S.
Setelah menjalani pemeriksaan di CPM Tegal, barulah diketahui sosok yang ditangkap adalah Letkol Untung.
Setahun setelah G30S meletus, Letkol Untung dieksekusi mati di Cimahi, Jawa Barat, lewat sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Ia sempat mengajukan grasi, namun ditolak.
(Tribunnews.com/Enggar Kusuma/Pravitri Retno W)