Ahli Hukum Sarankan Antam Lakukan PK Hadapi Konglomerat Budi Said
Pasalnya pelanggaran hukum tidak dilakukan perusahaan pelat merah tersebut, melainkan oleh oknum di dalamnya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr. Septa Chandra menyatakan bahwa putusan hakim di Pengadilan Negeri Surabaya dan juga di Mahkamah Agung tidak tepat dalam menyidangkan gugatan konglomerat Budi Said terhadap PT Antam.
Pasalnya pelanggaran hukum tidak dilakukan perusahaan pelat merah tersebut, melainkan oleh oknum di dalamnya.
"Kalau menurut saya putusan pengadilan yang menghukum PT. Antam yang harus bertanggung jawab, memang sekilas saya lihat keliru, karena kalau saya baca kronologisnya perbuatan yang dilakukan oleh Eksi Anggraeni itu merupakan perbuatan dalam kapasitas pribadi bukan untuk dan atas nama korporasi yang dalam hal ini yaitu PT Antam, sehingga harusnya dalam pertanggungjawabannya juga terhadap pribadi pelaku bukan terhadap korporasi," kata Septa Chandra kepada wartawan, Kamis (6/10/2022).
Baca juga: Menang Gugatan 1,1 Ton Emas Melawan Antam, Siapakah Sebenarnya Budi Said?
Oleh karena kesalahan hakim dalam mengambil keputusan, Septa menyarankan agar PT Antam memperjuangkan kembali haknya dengan melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
"Saya kira perlu untuk melakukan upaya hukum PK karena ada dugaan kekeliruan hakim dalam memutus perkara tersebut," tegasnya.
Menurutnya, Budi Said seharusnya menggugat kepada perseorangan.
Sebab jika ada kerugian negara maka pertanggungjawabannya dilakukan oleh para pelaku.
"Kalau pun adanya dugaan kerugian keuangan negara, itu pun pertanggungjawabannya secara pribadi pelaku (asas individualisasi pidana) sebagai bentuk tindak pidana korupsi karena korporasi plat merah," pungkasnya.
Diketahui pada 29 Juni lalu, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Budi Said terhadap PT Aneka Tambang Tbk (Persero) atau Antam.
Dengan putusan itu, Antam diharuskan membayar 1,1 ton emas kepada Budi Said.
Putusan ini menguatkan putusan PN Surabaya yang menghebohkan publik pada awal tahun 2021 lalu.
Kasus ini berawal saat Budi Said menggugat perusahaan berkode saham ANTM sebesar Rp 817,4 miliar ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Angka itu setara dengan 1,1 ton emas.
Saat Budi Said bertemu pimpinan Antam Surabaya dan berlanjut pembelian emas pada tahun 2018.
Budi kemudian melakukan transaksi dengan 73 kali transfer ke rekening PT Antam.
Total harga yang dibayar Rp 3,9 triliun, dengan harapan mendapat 7 ton emas.
Budi baru menerima 5.935 kg emas. Sisanya, 1.136 kg emas tidak kunjung dikirim.
Akhirnya Budi mempidakana kasus itu dan juga jalur perdata. Kasus bergulir ke pengadilan.