Ulang Tahun ke-266 Kota Jogja, Simak Sejarah Singkat Beserta Filosofi Tema Perayaannya
Kota Jogja merayakan hari ulang tahunnya yang ke-266, simak sejarah singkat dan filosofi tema perayaan HUT Jogja yang ke-266 berikut ini.
Penulis: Oktaviani Wahyu Widayanti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Kota Jogja sedang merayakan hari jadinya yang ke-266 pada tahun ini.
Hari Ulang Tahun Jogja jatuh pada tanggal 7 Oktober.
Dalam merayakan ulang tahunnya, Jogja mengadakan acara spesial yaitu Pekan HUT ke-266 Kota Jogja.
Pekan HUT Ke-266 Kota Jogja ini dilaksanakan sejak 1 Oktober 2022 lalu, hingga 9 Oktober 2022.
Agenda Pekan HUT Jogja ini diisi oleh berbagai acara menarik, mulai dari Lounching Logo HUT Jogja, Acara Gowes bersama, Karnaval Pelajar, Malioboro Night Coffe, hingga Gebyar Pameran Foto dan Keris.
Mengutip dari warta.jogjakota.go.id, pada hari jadinya yang ke 266 kali ini, Jogja mengangkat tema "Sulih Pulih Luwih".
Baca juga: 6 Tempat Wisata di Jogja Berhawa Sejuk dan Romantis, Cocok Buat Liburan Akhir Tahun 2020
Sejarah Ulang Tahun Kota Jogja
Mengutip dari hutkota.jogjakarta.go.id, berdirinya Kota Yogyakarta bermula dari Perjanjian Giyanti tanggal 15 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ).
Saat itu kerajaan Mataram terbagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Pada waktu itu Pangeran Mangkubumi diakui menjadi raja Ngayogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Sultan Hamengku Bowono I terdiri dari, Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, dan Bumigede ditambah beberapa daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan.
Kemudian setelah melakukan perjanjian pembagian daerah, Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta).
Ia mengumumkan ketetapan itu pada tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ). Peristiwa ini dikenal dengan nama Hadeging Nagari Ngayogyakarta.
Lalu pada 9 Oktober 1755 mereka melakukan babat alas untuk pembangunan keraton.
Sultan Hamengku Buwono I untuk sementara waktu menempati Pesanggrahan Ambar Ketawang, Gamping.
Baca juga: Volume Kendaraan di Kota Jogja Diprediksi Naik Signifikan saat tol Bawen-Yogyakarta-Solo Beroperasi
Sultan pun mengawasi jalannya pembangunan keraton baru tersebut.
Proses pembangunan keraton berlangsung selama hampir setahun.
Kemudian tepat pada tanggal 7 Oktober 1756 (Kemis Pahing, 13 Sura 1682 TJ) Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan pengikutnya melakukan boyongan dari Ambarketawang menuju keraton yang baru selesai dibangun tersebut.
Dalam penanggalan Tahun Jawa (TJ), peristiwa ini ditandai dengan sengkalan memet: Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani.
Beberapa masa berikutnya di gerbang tersebut dibentuk hiasan yang menggambarkan angka tahun atau sengkalan untuk menggambarkan persitiwa bersejarah ini.
Gambar-gambar tersebut dihias dan digambar di dinding penyekat di sisi dalam gerbang (banon renteng kelir).
Digambarkan ada sepasang naga bertaut ekor yang dapat dibaca sebagai kalimat Dwi Naga Rasa Tunggal, sementara di dinding samping luar gerbang terdapat bentuk sepasang naga bersisik merah yang menghadap ke selatan yang berbunyi Dwi Naga Rasa Wani.
Ornamen yang digambar tersebut mengisyaratkan angka tahun 1682.
Ini menjadi semangat “tunggal” dan “wani” yang diartikan sebagai semangat kemanunggalan, bahwa Yogyakarta akan berani menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan.
Peristiwa perpindahan atau boyongan tersebut menjadi pangkal tolak berkehidupan dan berkeadaban di Jogja.
Maka Pemerintah Kota Yogyakarta pun memilih momentum tersebut sebagai tanggal berdirinya Kota Yogyakarta..
Baca juga: Daftar Tempat Wisata di Jogja dengan Spot Klasik dan Instagramable
Filosofi Tema Perayaan HUT Jogja Ke-266
Pada tahun ini Jogja merayakan ulang tahunnya dengan tema "Sulih, Pulih, dan Luwih".
Tema ini memiliki arti dan filosofi tersendiri bagi masyarakat Jogja.
Sulih berarti berpindah dan beradaptasi dalam keadaan baru yang lebih baik, pulih dari pemulihan, dan luwih berarti berkembang menjadi lebih baik.
Tema ini menggambarkan tentang keadaan Kota Yogyakarta yang saat ini yang berhasil melewati pandemi Covid-19.
Kota Jogja telah beranjak ke fase yang lebih baik lagi.
Harapannya pada hari jadinya kali ini, tekad bersama dapat diwujudkan untuk menuju situasi normal dan kondusif di Kota Jogja.
(Tribunnews.com/Oktavia WW)
Berita lain terkait HUT Jogja