Berkait Kasus Gangguan Ginjal Akut, Ombudsman RI Menduga Terjadi Maladministrasi Kemenkes dan BPOM
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng memaparkan alasan pihaknya menduga terjadinya maladministrasi di Kemenkes dan BPOM.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Ombudsman Republik Indonesia menduga terjadi potensi maladministrasi di Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak.
Ombudsman menilai jika Kemenkes tidak memiliki data penyebaran penyakit ini secara akurat.
Hal ini disampaikan oleh anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng.
"Kami melihat potensi maladministrasi pada tidak dimilikinya data pokok terkait sebaran penyakit atau epidemilogi. Hal ini berakibat pada kelalaian atau pencegahan terhadap mitigasi kasus gangguan ginjal akut," ungkapnya pada konferensi pers virtual, Selasa (25/10/2022).
Selain itu, Robert menyebutkan kalau Kemenkes belum mengerti terkait masalah yang ada dan masih belum punya data.
Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak, Polri Takkan Razia Apotek yang Jual Obat Sirup
Kemudian sadar ada kejadian yang darurat, ketika Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAi) IDAI menyuplai data yang ada.
Atas dasar itu, baru ditracking ke belakang sejak kapan kasus ini terjadi.
Selanjutnya, Ombudsman melihat karena tidak mengerti pada masalah yang ada, maka tidak ada data yang akurat.
"Kemenkes pun tidak bisa memberikan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Juga tidak memiliki keterbukaan dan akuntabilitas atas informasi yang valid dan tepercaya terkait kasus ini," tegasnya.
Lalu potensi maladminsitrasi yang dilakukan oleh Kemenkes adalah ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal.
Sekaligus, menyebabkan tidak teprenuhinya standar pelayanan.
Termasuk pelayanan pada pemeriksaan di labortarium.
Sementara pada BPOM, Ombudsman juga melihat adanya potensi maladministrasi.
"Pada tahap pre-market, Ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi karena membiarkan produsen melakukan uji mandiri," paparnya lagi.
BPOM seolah memberikan kewenangan perusahaan untuk melakukan pengujian tanpa kontrol kuat.
Yang ditemukan Ombudsman adalah uji mandiri dilakukan perusahaan farmasi dan baru melaporkannya ke BPOM.
BPOM pun dinilai terkesan pasif menunggu munculnya laporan yang disampaikan.
Padahal, kata Robert seharusnya BPOM yang melakukan kontrol dan secara random melakukan uji produk yang dihasilkan perusahaan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.