Firli Bahuri Sebut KPK Bekerja Senyap dalam Pengusutan Kasus Kardus Durian
Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan bahwa pihaknya bekerja senyap dalam mengusut suatu perkara tindak pidana korupsi termasuk kasus kardus durian.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan bahwa pihaknya bekerja senyap dalam mengusut suatu perkara tindak pidana korupsi.
Itu disampaikan Firli Bahuri menanggapi adanya tuduhan seolah-olah KPK memiliki maksud lain dalam pengusutan kasus kardus durian.
“Sejak awal saya sering katakan bahwa penegakan hukum itu adalah pekerjaan yang senyap, tetapi menjadi ramai dan penuh ingar bingar karena terkait seseorang atau lembaga yang dianggap oleh masyarakat punya posisi penting dan peranan penting dalam masyarakat kita, berbangsa dan bernegara,” kata Firli Bahuri dalam rilis bertajuk #DemiHukumdanKeadilan, Rabu (2/11/2022).
Firli Bahuri mengatakan, KPK bekerja secara profesional dan proporsional dengan tetap menjunjung tinggi asas hukum acara pidana praduga tak bersalah dan persamaan hak di muka hukum.
KPK, lanjutnya, bakal terus bekerja secara transparan, akuntabel, mewujudkan kepastian hukum dan keadilan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
“KPK bekerja dengan landasan bukti, bukan diskusi-diskusi di ruang publik yang belum berkecukupan bukti. Kita pun tidak terpengaruh dengan diskusi, opini dan politisasi di luar sana yang dinamikanya berubah-ubah,” katanya.
“Karena sesungguhnya KPK dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya tidak tunduk kepada kekuasaan mana pun. Tanpa pandang bulu adalah salah satu prinsip KPK,” imbuh Firli Bahuri.
Jenderal polisi (purn) bintang tiga ini mengingatkan masyarakat agar tidak pernah berpikir bahwa KPK akan sulit menemukan perbuatan korupsi.
Sebab, menurut Firli Bahuri, KPK bekerja bukan untuk mencari kesalahan.
“Kami cukup mencari keterangan serta bukti-bukti. Dengan bukti-bukti itu lah akan membuat terangnya peristiwa pidana korupsi guna menemukan tersangka. Hal terpenting adalah bukti permulaan yang cukup dan kecukupan alat bukti,” ujarnya.
Baca juga: KPK Pelajari Kembali Kasus Korupsi Kardus Durian di Kemenakertrans
Sebelumnya, Firli menyatakan kasus kardus durian yang diduga menyeret Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menjadi perhatian bersama.
Ia meminta masyarakat mengawal kerja-kerja KPK.
"Perkara lama yang disebut kardus durian ini juga menjadi perhatian kita bersama. Tolong kawal KPK, ikuti perkembangannya. KPK pastikan setiap perkara disampaikan kepada rekan-rekan semua," ujar Firli di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022).
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Imron Rosyadi Hamid menyambut pesan itu dan meminta KPK tidak tebang pilih dalam memeriksa kasus kardus durian yang disinyalir menyeret Cak Imin.
Imron membandingkan penanganan kasus tersebut dengan kasus dugaan suap izin tambang yang menjerat Bendahara PBNU Mardani Maming yang kini tengah diproses dan akan memasuki persidangan.
Padahal, dua kasus tersebut terjadi di waktu yang bersamaan yaitu tahun 2011.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PKB Syaiful Huda memastikan isu kardus durian tidak menggoyangkan koalisi PKB dan Gerindra.
Ia menyatakan kedua partai semakin solid dan berniat mencari satu poros partai politik lain guna menguatkan posisi mereka dalam memenangkan Pemilu 2024.
Baca juga: KPK Limpahkan Surat Dakwaan Eks Bupati Tanah Bumbu Mardani Maming ke PN Banjarmasin
Kasus kardus durian adalah kasus suap pembahasan anggaran untuk dana optimalisasi Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (P2KT) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans).
Kardus durian merupakan tempat uang senilai Rp1,5 miliar yang ditemukan petugas KPK di Kantor Kemenakertrans pada tahun 2011.
Kasus ini juga melibatkan PT Alam Jaya Papua sebagai pihak swasta.
Diketahui, saat kasus korupsi terjadi, Cak Imin pada menjabat sebagai Menakertrans.
Tim penindakan KPK kala itu melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 Agustus 2011 dan meringkus dua anak buah Cak Imin.
Mereka adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi I Nyoman Suisnaya dan bekas Kepala Bagian Perencanaan dan Evaluasi Program Kemenakertrans Dadong Irbarelawan.
Dua anak buah Menakertrans Muhaimin Iskandar tersebut diduga menerima suap Rp1,5 miliar dari pengusaha yang bernama Dharnawati terkait dengan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT).
Dharnawati yang merupakan kuasa direksi PT Alam Jaya Papua juga diamankan petugas KPK dalam OTT itu.
Dadong Irbarelawan membuat pengakuan yang memojokkan keterlibatan Cak Imin.
Ia mengatakan komitmen fee dari Dharnawati Rp1,5 miliar diduga memang akan diberikan kepada Cak Imin.
Dadong, saat pemeriksaan terdakwa dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 2012, menyebutkan beberapa fakta tentang keterlibatan Cak Imin.
Pada Mei 2011, Nyoman memanggil Dadong datang ke ruangannya.
Di dalam ruangan sudah ada Dharnawati dan Dhany S Nawawi, mantan Staf Khusus Presiden Bagian Tim Penilai Akhir.
Nyoman memperkenalkan keduanya kepada Dadong yang hendak ikut mengerjakan proyek di Kemenakertrans itu.
"Katanya Pak Dhany sudah ketemu dengan Pak Muhaimin," kata Dadong menirukan ucapan Nyoman ketika diperiksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/3/2012).
"Pada waktu itu, saya diam saja," katanya.
Pada 23 Agustus 2011, dua hari sebelum dicokok KPK, kata dia, Sindu Malik memanggilnya ke lantai dua Kementerian di Kalibata, Jakarta Selatan.
Sindu adalah mantan pejabat Kementerian Keuangan.
Dadong mengetahui ruang itu kerap ditempati Sindu.
Di ruangan itu, selain ada Sindu, ada Muhammad Fauzi.
Dia mantan anggota tim asistensi Menteri Muhaimin.
Dadong bertanya kepada dua orang tersebut siapa yang akan menerima duit dari Dharnawati.
"Dijawab Pak Sindu dan Pak Fauzi, untuk Trans I," kata Dadong.
Ia memberikan pernyataan ini setelah mendapat pertanyaan dari ketua majelis hakim Herdin Agustien.
"Setahu saya, Trans I itu Pak Muhaimin," ujar Dadong.
Ia melanjutkan, "Kata Fauzi, nanti saya klarifikasi lebih lanjut."
Dadong pernah juga berhubungan melalui telepon dengan Dhany.
Dia mengatakan Dhany menelepon untuk meng-clear-kan adanya komitmen fee 10 persen dari proyek PPID transmigrasi itu.
Dharnawati, kata Dadong, mulanya tidak mau memberikan komitmen fee sebesar itu, tapi Sindu Malik mengancam akan mengalihkannya ke pengusaha lain jika tidak sanggup memenuhi komitmen fee 10 persen tersebut.
Akhirnya, melalui Dhany, Dharnawati menyanggupi komitmen fee itu.
"Oke, kalau begitu saya komit. Tapi ada sebagian dana yang diambil untuk saya serahkan ke Pak Menteri," kata Dhany seperti dikutip oleh Dadong.
Baca juga: Bertemu Presiden Jokowi, Cak Imin Minta Harga BBM untuk Motor dan Angkutan Umum Diturunkan
Dadong juga mengatakan bahwa Dhany menyatakan Dharnawati mendapat informasi Menteri butuh lebih dari Rp1,5 miliar.
Kemudian Dharnawati menitipkan buku tabungan, kartu anjungan tunai mandiri, dan PIN ATM kepadanya, yang di dalamnya berisi Rp500 juta.
"Saya titip buku tabungan untuk disampaikan langsung ke Menteri," ujar Dharnawati, yang ditirukan oleh Dadong.
Dadong juga mengatakan yang dimaksud dengan menteri adalah Muhaimin Iskandar.
Namun, dalam beberapa kesempatan, Cak Imin berkali-kali membantah, baik di dalam atau luar persidangan.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara kepada I Nyoman Suisnaya dan Dadong Irbarelawan.
Tak hanya itu, majelis hakim menjatuhkan pidana denda sebesar Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Cak Imin Tidak Menjawab Saat Ditanya Soal Kasus Kardus Durian
Berdasarkan fakta pengadilan, Suisnaya dan Dadong terbukti bersalah menerima suap pada program PPIDT.
Sementara, Dharnawati dijatuhi hukuman 2,5 tahun bui dan denda Rp100 juta.
Hakim menyatakan Dharnawati terbukti melakukan perbuatan sesuai dengan dakwaan Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tipikor.
Ia dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi memberikan suap kepada dua pejabat negara.