Analog Switch-Off Hanya di Jabodetabek, Ketum Badko HMI Jabodetabeka-Banten: Harusnya Nasional
Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Jabodetabeka-Banten, M. Adhiya Muzakki heran dengan kebijakan mematikan siaran televi
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Jabodetabeka-Banten, M. Adhiya Muzakki heran dengan kebijakan mematikan siaran televisi analog atau Analog Switch-Off (ASO) hanya di wilayah Jabodetabek.
Adhiya menilai kebijakan tersebut malah merugikan masyarakat yang masih menggunakan TV analog.
Ia merasa heran dengan ASO hanya wilayah Jabodetabek dengan dalih perintah Undang-Undang.
"Padahal, perintah UU Cipta Kerja adalah ASO nasional, bukan hanya ASO Jabodetabek," ujar Adhiya kepada wartawan, Jumat (4/10/2022).
Adhiya menambahkan, MK telah membatalkan UU Cipta Kerja dengan putusannya No.91/PUU-XVIII/2020 (Butir 7) yang berbunyi: Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
Serta, lanjut dia, tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).
Arti dari Keputusan MK adalah segala sesuatu yang memiliki dampak luas (terhadap masyarakat) agar ditangguhkan. Berdasarkan catatan Adhiya, sebanyak 60 persen penduduk Jabodetabek masih menggunakan TV analog.
"Kominfo terlihat menggunakan aturan ganda. Di satu sisi menggunakan perintah UU, satu sisi lainnya menggunakan putusan MK," kata Adhiya.
Baca juga: Soal Penghentian Siaran TV Analog, ANTV dan tvOne Nyatakan Dukung Pemerintah
Adhiya menilai, Keputusan ASO sama saja memaksa masyarakat membeli STB (set top box) agar dapat menonton siaran digital. Padahal, waktunya tidak tepat. Kondisi ekonomi sebagian masyarakat kita kurang baik saat ini, karena terimbas pandemi.
Selain itu, Adhiya menilai bahwa yang diuntungkan dari kebijakan tersebut adalah pabrik atau penjual STB. Kebijakan tersebut membuat masyarakat terpaksa harus membeli alat tersebut guna bisa menonton siaran televisi seperti biasa.
"Yang diuntungkan jelas pabrik atau penjual STB, sementara rakyat di posisi yang dirugikan," ucap Adhiya. (*/)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.