Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Polemik Pengakuan Ismail Bolong Setor Uang Tambang Ilegal: Jokowi Diminta Evaluasi Kewenangan Polri

Presiden Joko Widodo diminta turun tangan jika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tak mau menindak anggotanya yang terlibat di kasus Ismail Bolong.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Polemik Pengakuan Ismail Bolong Setor Uang Tambang Ilegal: Jokowi Diminta Evaluasi Kewenangan Polri
Kolase Tribunnews
Presiden Jokowi diminta melakukan evaluasi atas institusi Polri, terutama dalam kaitan dengan kewenangan dan proses hukum atas kasus tambang ilegal di Indonesia selama ini. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus pengakuan mantan anggota Polri Ismail Bolong terkait kasus uang tambang ilegal terus bergulir.

Pasalnya, dari pengakuan Ismail Bolong turur menyeret sejumlah petinggi Polri.

Di mana, nama Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto turut terseret dalam pusatan kasus tersebut.

Tentu, hal ini harus menjadi perhatian khusus pemerintah, karena ini 'proyek' tambang ilegal ini diduga melibatkan petinggi Polri.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menilai, hal yang paling mendesak saat ini adalah Presiden melakukan evaluasi atas institusi Polri, terutama dalam kaitan dengan kewenangan dan proses hukum atas kasus tambang ilegal di Indonesia selama ini.

Sebab, problemnya bukan sebatas urusan memodali operasi tambang ilegal, sebagaimana yang terjadi pada Ismail Bolong, tetapi, juga proses penindakan hukum di lapangan oleh polisi yang tebang pilih.

"Bayangan saja, dari total 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin alias tambang ilegal di Indonesia, hanya sedikit saja yang ditindak oleh aparat keamanan," kata Melky Nahar saat dihubungi Tribun Network, Selasa (8/11).

Baca juga: Gara-gara Ismail Bolong, Tak Hanya di Propam, Kabareskrim Juga Bakal Dilaporkan ke KPK

Berita Rekomendasi

Melky pun menyebut, di Kaltim, misalnya, dari 150 lebih titik operasi tambang ilegal, hanya ada tiga kasus yang sedang dalam proses hukum.

Dia pun mempertanyakan soal sebagaian kasus besar itu justru terkesan dibiarkan. Melky pun menduga hal iti dilakukan untuk mencari keuntungan pribadi.

"Kami menduga, memang sengaja, dijadikan sumber cuan oleh aparat," terangnya.

Belum lagi, lanjutnya, ketika dibandingkan dengan kasus-kasus tambang legal, berizin, milik perusahaan tertentu.

Polisi sering kali mengamankan operasi perusahaan-perusahaan ini.

Sementara warga yang melawan dikriminalisasi, atau tambang ilegal yang ada di dekat konsesi perusahaan itu, justru dibiarkan.

Ia pun membeberkan contoh konkret adalah di Bowone, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Polisi berulang kali mengkawal mobilisasi alat berat PT Tambang Mas Sangihe, bahkan 15 warga penolak tambang dikriminalisasi.

"Ironisnya, tambang emas di wilayah yang sama, justru tak ditindak," imbuhnya.

Lebih lanjut, Melky menilai, setelah mengevaluasi Polri itu, Presiden Jokowi juga institusi terkait untuk mengevaluasi aktivitas tambang-tambang ilegal ini, mencari tahu bentuk kerugian negara dan kerusakan lingkungan serta ruang hidup rakyat.

"Sehingga, penegakan hukumnya pun harus menyasar tidak saja kepada pelaku di lapangan, tetapi juga pemodal dan penerima manfaat secara keseluruhan," tegasnya.

Desakan yang sama juga disampaikan oleh Pengamat Kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto.

Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo diminta turun tangan jika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tak mau menindak anggotanya yang terlibat di kasus pengakuan Ismail Bolong.

Bambang menyampaikan bahwa pengakuan Ismail Bolong dan laporan dokuman Divisi Propam Polri yang tersebar membuka borok di internal Polri yang selama ini tersimpan.

"Dokumen Divisi Propam terkait pemeriksaan Ismail Bolong tentunya membuka borok-borok di internal yang selama ini disimpan internal Kepolisian. Bahwa praktek-praktek suap atau setoran pada pejabat kepolisian itu benar adanya. Dan pengawasan Divpropam ternyata terbukti tidak efektif," kata Bambang saat dikonfirmasi.

Dia menuturkan bahwa rekomendasi laporan divisi Propam Polri terkait hasil penyelidikan di kasus setoran uang tambang ilegal hanya bersifat rekomendasi. Adapun tidak ada penindakan yang berarti kepada nama-nama yang disebut terlibat di kasus tersebut.

"Hanya rekomendasinya saja yang tidak tepat dan malah menutup-menutupi atau membiarkan pelanggaran di internal. Tinggal sekarang bagaimana langkah-langkah Kapolri, apakah masih menyimpan personel yang melakukan tindakan-tindakan kotor yang mencoreng nama institusi atau segera mengamputasinya," jelas Bambang.

Baca juga: Buntut Pengakuan Ismail Bolong: IPW Minta Kabareskrim Dinonaktifkan, Kompolnas Turun Tangan

Oleh karena itu, Bambang meminta Kapolri untuk menindak kasus setoran uang tambang ilegal. Sebaliknya, Presiden Jokowi diminta turun tangan jika Kapolri tak mau menindak anggotanya.

"Kalau Kapolri masih tetap menyimpan para personel yang terlibat, tentu presiden harus turun tangan sendiri untuk menyelamatkan marwah institusi Polri," tukasnya.

KPK Turun Tangan

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyatakan pihaknya siap memberantas mafia tambang. 

Kesiapan Ghufron ini menanggapi pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut ingin menggandeng KPK memberantas mafia tambang.

"KPK tentu akan menyambut baik inisiasi Menko Polhukam untuk menyelesaikan kebocoran penerimaan negara dari sektor tambang, atau sektor lainnya dalam hal kebocoran tersebut diduga karena adanya dugaan korupsi," kata Ghufron lewat pesan tertulis.

Ghufron menyebut pihaknya sudah melakukan beberapa kajian dalam dunia tambang, khususnya batu bara. Tak hanya itu, pihaknya juga telah melakukan perbaikan sistem melalui Sistem Informasi Pengelolaan Batubara (Simbara).

"Harapannya rantai proses bisnis batubara lebih pasti, transparan serta pemenuhan kebutuhan dalam negeri didahulukan dengan mematuhi DMO (Domestic Market Obligation)," tutur Ghufron.

Senada dengan Ghufron, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga menyambut baik inisiasi Mahfud MD. Menurut Alex, pihaknya juga sudah memonitor tata kelola pertambangan dan perkebunan sawit.

"KPK lewat korsup sektor SDA memonitor tatakelola pertambangan dan perkebunan sawit," kata Alex.

Sebelumnya, Mahfud MD menyebut akan berkoordinasi dengan KPK untuk mengusut mafia tambang yang ada di Indonesia. Mahfud menyebut akan menyerahkan data-data yang dibutuhkan agar KPK segera memberantas mafia tambang.

"Nanti saya akan kordinasi dengan KPK untuk membuka file tentang modus korupsi dan mafia di pertambangan, perikanan, kehutanan, pangan, dan lain-lain," kata Mahfud.

Pernyataan Mahfud ini berawal dari perkaraa mantan anggota Polri Ismail Bolong yang menyebut sempat memberi uang setoran hasil tambang ilegal kepada Kabareskrim Komjen Agus Andrianto. Belakangan, Ismail menarik pernyataannya tersebut.

"Saya klarifikiasi bahwa berita itu tidak benar. Dan saya pastikan berita itu saya tidak pernah memberi kasih kepada Kabareskim, apalagi memberi uang, saya tidak kenal," ujar Ismail dalam keterangannya dikutip, Senin.

Ismail yang mengaku sudan pensiun dini dari Polri sejak Juli 2022 ini meminta maaf kepada Agus Andrianto atas pernyataannya sebelumnya. Pernyataannya itu sempat viral di media sosial.

Ismail menyebut saat memberikan pernyataan itu dirinya dalam tekanan. Dia menyeret nama mantan Karopaminal Divpropam Polri Brigjen Hendra Kurniawan yang kini menjadi tersangka obstruction of justice kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

"Saya jelaskan bahwa pada bulan Februari datang anggota Mabes Polri memeriksa saya untuk testimoni kepada Kabareskim dengan penuh tekanan dari Brigjen Hendra. Saya klarifikasi melalui handphone, dengan mengancam akan bawa ke Jakarta kalau enggak melakukan testimoni," kata dia.

Sebelumnya, Beredar salinan dokumen berjudul Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) berkop surat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Divisi Profesi dan Pengamanan di media sosial Twitter.

Pada salinan dokumen tersebut tertera klasifikasi rahasia. Tiga salinan dokumen tersebut diunggah oleh akun Twitter @BosPurwa pada 6 November 2022.
Pada salinan dokumen pertama yang diunggah tertera nomor dokumen R/1253/IV/WAS/.2.4.2022/Divpropam tertanggal 7 April 2022.

Kemudian pada salinan dokumen ketiga yang diunggah tertera tanda tangan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo.

Terdapat tiga poin kesimpulan pada salinan dokumen ketiga tersebut. Satu di antaranya menyatakan terkait adanya intervensi unsur TNI.

"a. bahwa di wilkum Polda Kaltim terdapat beberapa penambangan batubara ilegal yang tidak dilengkapi Izin Usaha  Penambangan  (IUP), namun tidak dilakukan upaya hukum dari pihak Polsek, Polres, Polda Kaltim dan Bareskrim karena adanya uang koordinasi dari para pengusaha tambang batubara ilegal selain itu adanya kedekatan Sdri. TAN PAULIN dan Sdri. LENY dengan PJU Polda Kaltim serta adanya intervensi dari unsur TNI dan Setmilpres;" tulis salinan dokumen tersebut.

Testimoni Ismail Bolong Soal Mafia Tambang Ilegal

Awalnya, sebuah video yang menampilkan pengakuan Ismail Bolong menyetor duit tambang ilegal kepada Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto muncul dalam diskusi bertajuk Mengungkap Persengkokolan Geng Tambang di Polisi dengan Oligarki Tambang di kafe Dapoe Pejaten, Jakarta Selatan pada Kamis (3/11).

Dalam video itu, Ismail Bolong tampak sedang membacakan sebuah surat pengakuan yang menyatakan dirinya bekerja sebagai pengepul dari konsesi tambang batu bara ilegal di Desa Santan Ulu, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutaikartanegara, Kalimantan Timur.

"Terkait adanya penambangan batu bara di wilayah Kalimantan Timur, bahwa benar saya bekerja sebagai pengepul batu bara dari konsesi tanpa izin," kata Ismail Bolong di dalam video tersebut.

Menurut pengakuannya dalam video itu, dia memperoleh keuntungan dari hasil pengepulan dan penjualan tambang batu bara ilegal  mencapai Rp 5-10 miliar setiap bulan.

Keuntungan tersebur terhitung sejak Juli 2020 hingga November 2021.
Setahun lebih mengeruk perut bumi tanpa izin, Ismail mengaku telah berkoordinasi dengan Kabareskim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto.

Koordinasi itu diduga untuk membekingi kegiatan ilegal yang dilakukan Ismail dan perusahaan tambang batubara agar tak tersentuh kasus hukum.

Koordinasi itu tak gratis. Ismail mengaku harus menyerahkan uang kepada Agus sebesar Rp 6 miliar.

Uang tersebut telah disetor sebanyak tiga kali, yaitu pada September 2021 sebesar Rp 2 miliar, Oktober 2021 Rp 2 miliar, dan November 2021 Rp 2 miliar.

"Uang tersebut saya serahkan langsung kepada Komjen Pol Agus Andrianto di ruang kerja beliau setiap bulannya."
Tak hanya Agus, Ismail Bolong jjga mengaku menyetorkan uang kepada pejabat reserse Polres Bontang.

"Saya pernah memberikan bantuan sebesar Rp 200 juta pada bulan Agustus 2021 yang saya serahkan langsung ke Kasatreskrim Bontang, AKP Asriadi di ruangan beliau," katanya.

Berikut isi pengakuan lengkap Ismail Bolong;

Terkait adanya penambangan batu bara di wilayah Kalimantan Timur, bahwa benar saya bekerja sebagai pengepul batu bara dari konsesi tanpa izin, dan kegiatan tersebut tidak dilengkapi surat izin di daerah Santan Ulu, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kukar, wilayah hukum Polres Bontang, sejak bulan Juli tahun 2020 sampai dengan bulan November 2021.

Dalam kegiatan pengepulan batu bara ilegal ini, tidak ada perintah dari pimpinan. Melainkan atas inisiatif pribadi saya. Oleh karena itu, saya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas tindakan yang saya lakukan.

Keuntungan yang saya peroleh dari pengepulan dan penjualan batu bara berkisar sekitar Rp 5 sampai 10 miliar dengan setiap bulannya.

Terkait kegiatan yang saya laksanakan, saya sudah berkoordinasi dengan Kabareskrim, yaitu ke Bapak Komjen Pol Agus Andrianto dengan memberikan uang sebanyak tiga kali. Yaitu pada bulan September 2021 sebesar Rp 2 miliar, bulan Oktober 2021 sebesar Rp 2 miliar, dan bulan November 2021 sebesar Rp 2 miliar.

Uang tersebut saya serahkan langsung kepada Komjen Pol Agus Andrianto di ruang kerja beliau setiap bulannya, sejak bulan Januari 2021 sampai dengan bulan Agustus yang saya serahkan langsung ke ruangan beliau.

Sedangkan untuk koordinasi ke Polres Bontang, saya pernah memberikan bantuan sebesar Rp 200 juta pada bulan Agustus 2021 yang saya serahkan langsung ke Kasatreskrim Bontang AKP Asriadi di ruangan beliau.

Saya mengenal saudara dan Tampoli yang pernah menjual batu bara ilegal yang telah saya kumpulkan kepada saudari Tampolin sejak bulan Juni 2020 sampai dengan bulan Agustus tahun 2021. Demikian yang saya sampaikan. Terima kasih, jenderal. (Tribun Network/Yuda).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas