Eks Napi Terorisme Ingatkan Elite dan Masyarakat Agar Tinggalkan Politik Identitas dalam Pemilu 2024
Eks Narapidana Terorisme, Sofyan Tsauri mengingatkan para elite politik untuk tak menggunakan politik identitas dalam Pemilu dan Pilpres 2024.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Narapidana Terorisme, Sofyan Tsauri mengingatkan para elite politik untuk tak menggunakan politik identitas dalam kontestasi Pemilu dan Pilpres 2024.
Sebab kata dia, dampak dan efek dari politik identitas berbahaya bagi keutuhan NKRI, khususnya yang memanfaatkan identitas agama dalam berkampanye.
"Mendekati Pilpres 2024, jangan lagi menggunakan politik identitas sebagai sebuah kendaraan politik," ujar Sofyan dalam acara diskusi Garda Nasionalis bertajuk 'Menghadapi Pertarungan Ideologi di Pemilu 2024' di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta, Sabtu (19/11/2022).
Ia menyampaikan bahwa politik identitas akan menimbulkan polarisasi tajam di tengah masyarakat.
Jika polarisasi terjadi, maka setiap orang yang berbeda identitasnya akan dianggap musuh yang harus dikalahkan bahkan dibinasakan.
Baca juga: Perkuat Kelembagaan dan SDM, BSNPG Gelar Dikpol dan Rakornis untuk Menangkan Golkar di Pemilu 2024
"Seakan-akan kalau tidak memilih pasangan yang sesuai dengan agama atau apa sebagainya, ini akan membuat nanti menimbulkan kebencian dan orang akan sulit untuk move on dari jebakan politik identitas," ujar dia.
Menurut Sofyan, pengalaman Pemilu 2019 harus dijadikan pelajaran penting bagi masyarakat, termasuk elite politik negeri ini.
Pasalnya penggunaan politik identitas yang kala itu marak terjadi, membuat Indonesia nyaris pecah akibat kuatnya polarisasi di masyarakat.
Baca juga: KPU Tegaskan Masih Menggunakan Mekanisme Pengundian terkait Nomor Urut Parpol Peserta Pemilu 2024
"Politik identitas akan memprovokasi masyarakat dan ini menurut saya berbahaya karena akan menimbulkan kebencian. Apalagi kita mendengar 2019 terjadinya politik identitas, hampir saja kita jatuh ke kubangan konflik sebagaimana yang terjadi di Arab Spring," ungkap Sofyan.
Apalagi kata dia, jumlah orang yang punya potensi terpapar radikalisme ada sebesar 12 persen dari total penduduk Indonesia atau 33 juta orang. Menurutnya angka ini terbilang besar dan mengkhawatirkan.
"Ini akan jadi bahan bakar untuk memasang idiom politik identitas. Dan ini menurut saya angka yang cukup mengkhawatirkan. Peran pemerintah untuk melakukan sosialisasi bahaya politik identitas, jangan sampai menjadi dasar politik kita," tutupnya.