Membaca Peluang dan Rekam Jejak 3 Kepala Staf Angkatan Gantikan Andika Perkasa Sebagai Panglima TNI
KSAD Jenderal Dudung Abdurachman, KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo, dan KSAL Laksamana Yudo Margono sama-sama memiliki kans kuat gantikan Andika Perkasa.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) sekaligus pengamat militer Anton Aliabbas menyampaikan pandangannya terkait peluang dan rekam jejak tiga kepala staf angkatan TNI menggantikan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang akan memasuki masa pensiun dalam waktu dekat.
Sejauh ini, kata dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memutuskan siapa sosok yang akan dimajukan ke DPR sebagai kandidat Panglima TNI mendatang.
Secara normatif, menurutnya baik KSAD Jenderal Dudung Abdurachman, KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo, maupun KSAL Laksamana Yudo Margono sama-sama memiliki kans kuat.
Sebab, kata dia, untuk menjadi kandidat Panglima TNI harus pernah menjabat posisi kepala staf.
Dari tiga kepala staf yang ada, kata dia, juga tidak ada satupun yang pernah bertugas di 'lingkaran' Jokowi baik itu menjadi ajudan, Paspampres, sekretaris militer ataupun berdinas di Solo saat Jokowi masih menjadi Walikota.
Baca juga: Komisi I DPR Sebut Tak Masalah Fit and Proper Test Calon Panglima TNI Dilakukan di Masa Reses
Jika berkaca dari sisi pengalaman manajerial dan penugasan, menurutnya tiga kepala staf yang ada juga sudah memenuhi kualifikasi tersebut.
"Karena itu, faktor 'kepercayaan' dan 'kenyamanan' kelihatannya tetap akan menjadi alasan terkuat Jokowi memilih siapa yang akan menjadi Panglima TNI berikutnya," kata Anton ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (22/11/2022).
"Dengan kata lain, pengalaman/rekam jejak sebelum jadi kepala staf, apakah pernah tercatat memberi impresi dalam penyelesaian/pelaksanaan isu yang menjadi concern presiden atau tidak dapat menjadi penentu," sambung Anton.
Baca juga: Siapa Sosok Calon Panglima TNI, Pimpinan DPR: Disesuaikan dengan Situasi dan Kondisi Saat Ini
Menurutnya jika Presiden Jokowi mempertimbangkan penguatan implementasi visi Poros Maritim Dunia maka pilihan mengajukan Yudo memiliki pertimbangan kuat dan berdasar.
Apalagi, lanjut dia, merujuk pada Pasal 13 ayat 3 UU No 34/2004 tentang TNI, posisi Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian.
Tentu saja, kata Anton, memperhatikan moril para prajurit terutama dari TNI AL semakin cukup beralasan mengingat hanya KSAL yang belum mendapat giliran memegang posisi Panglima TNI sejak Jokowi menjabat pada 2014.
Rotasi bergiliran sejak era reformasi untuk pos Panglima TNI itu, lanjut Anton, didasari semangat kesetaraan antar matra.
Baca juga: KTT G20 Berlangsung Lancar, Aman dan Damai, Anggota Komisi I DPR Apresiasi Panglima TNI, BIN & BSSN
Menurutnya hal tersebut didasari pada pengalaman di era Orde Baru, hanya elit satu matra saja yang menjabat Panglima Angkatan Bersenjata.
"Dengan demikian, jika semua matra mendapat giliran menjabat posisi Panglima TNI tentu sedikit banyak akan menunjukkan rasa kesetaraan tersebut," kata dia.
Meski demikian, menurutnya jika mengacu pada rekam jejak sebelum menjabat kepala staf, maka KSAD mempunyai 'modalitas' yang signifikan.
Jenderal Dudung saat menjadi Pangdam Jaya, kata dia, pernah dianggap sukses dalam mengelola dinamika keamanan ibukota seperti menertibkan baliho FPI.
"Dan kesuksesan ini tentu saja dapat mempunyai nilai tersendiri dan memberi cukup impresi pada Jokowi," kata dia.
Sementara itu, menurutnya cerita sukses rekam jejak Laksamana Yudo dan Marsekal Fadjar sebelum menjabat posisi kepala staf dalam menjalankan isu spesifik yang berhasil menarik perhatian Presiden Jokowi belum terelaborasi dan terkapitalisasi secara maksimal di ruang publik.
Jika Laksamana Yudo misalnya dulu pernah merasa sukses menjalankan tugas spesifik yang berkaitan dengan pengamanan Tol Laut, kata dia, maka ada baiknya cerita sukses itu dikapitalisasi.
Hal serupa, lanjut dia, juga berlaku untuk Marsekal Fadjar.
"Dengan demikian, publik termasuk Presiden Jokowi punya rekaman untuk mengingat dan aware dengan cerita sukses tersebut," kata dia.
Mengingat UU tidak secara eksplisit mengharuskan presiden untuk menunjuk Panglima TNI secara bergiliran, menurutnya maka tentu implikasi pilihan tersebut terhadap kinerja presiden secara umum menjadi ada dua ruang penafsiran.
Menurutnya ada yang dapat menganggap Jokowi tidak patuh terhadap UU, tetapi juga ada yang akan menganggap Presiden tidak melanggar ketentuan.
"Dalam konteks ini, siapapun Panglima TNI-nya, dia memang tetap harus melakukan konsolidasi internal dan fokus menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan dalam UU TNI," kata dia.
Tahun 2023, kata dia, memang tahun politik.
Karena itu, menurut Anton soliditas dan konsolidasi yang dilakukan Panglima TNI menjadi penting.
Akan tetapi, menurutnya sudah semestinya memang pemerintah tidak menarik, mewacanakan ataupun juga menugaskan TNI untuk ikut mengurusi hiruk pikuk politik nasional.
Gangguan keamanan untuk urusan politik, kata dia, hendaknya hanya dan cukup melibatkan Polri dan intelijen saja, tanpa perlu melakukan sekuritisasi dengan melibatkan TNI.
"TNI tetap harus dijaga fokusnya untuk menjaga negara dari ancaman musuh yang datang dari luar," ujar dia.