Saksi dari Duta Palma Group Sebut Perusahaan Surya Darmadi Didiskriminasi Masalah Izin
Sebanyak 309 perusahaan, termasuk PT Duta Palma Group, disebut tidak memiliki perizinan kehutanan tahap dua.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Gilang Putranto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saksi Manager Legal Duta Palma Group Kantor Jakarta, Yudi Prasetyo Wibowo, mengungkapkan terdapat sebanyak 309 perusahaan, termasuk PT Duta Palma Group yang tidak memiliki perizinan kehutanan tahap dua.
Namun, hanya PT Duta Palma Group yang diproses secara hukum.
Hal tersebut terungkap saat Yudi duduk sebagai kasus alih fungsi lahan di Indragiri Hulu (Inhu), Riau, dengan terdakwa mantan Bupati Inhu, Raja Thamsir Rachman dan Pemilik PT Duta Palma Group, Surya Darmadi alias Apeng.
"Betul pak (309 perusahaan). Di SK tahap II itu lebih dari 100 perusahaan yang mengalami sama dengan kondisi yang dialami oleh perusahaan milik dari Pak Surya Darmadi ini," kata Yudi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/11/2022).
Baca juga: Saksi Ungkap Perusahaan Surya Darmadi Tak Wajib Bayar PNBP
Lebih lanjut, Yudi mengaku sudah mengajukan syarat-syarat yang diminta untuk melengkapi izin kehutanan tahap dua itu untuk PT Duta Palma Group.
Bahkan, perizinan tersebut sedang diproses.
"Betul sudah mengajukan pak. Karena turunan dari SK 351 tadi sekjen KLHK menyurati perusahaan-perusahaan yang masuk dalam SK tahap dua untuk melengkapi berupa peta citra satelit resolusi tinggi time series satu tahun sebelum izin diterbitkan sampai dengan November tahun 2020."
"Dan itu karena waktu itu saya masih di perusahaan itu sudah saya ajukan semua permohonan itu kelengkapan data itu," katanya.
Menanggapi itu, kuasa hukum Surya Darmadi, Juniver Girsang, mempertanyakan kenapa dari 309 perusahaan itu, hanya PT Duta Palma Group yang dipermasalahkan.
Dia pun menilai terjadi diskriminasi lantaran hanya Surya Darmadi yang diproses pidana.
"Nah yang jadi pertanyaan kalau ada 309 perusahaan yang tahap kedua, itu mengapa hanya PT Duta Palma yang diproses, kenapa perusahaan lain yang sama tidak diproses, ini kan menjadi pertanyaan besar, yang tadi penasihat hukum mempertanyakan kepada jaksa penuntut umum di persidangan kenapa terjadi diskriminasi, ada apa," kata dia.
Padahal, kata saksi lainnya yakni, mantan Legal Manager PT Duta Palma Group, Suheri Terta, area perkebunan perusahaannya sudah dilengkapi penitipan anak, rumah ibadah, juga klinik.
Sehingga, tidak ada konflik apapun antara warga, karyawan perkebunan maupun perusahaan. Fasilitas disebut juga bisa dimanfaatkan warga sekitar perkebunan sawit.
Ia menyebut, demonstrasi terakhir terjadi di era 1999 hingga 2000-an.
“Tapi saat itu bukan cuma kita, hampir semua perusahan ada demo."
"Itu kan aspirasi masyarakat, sudah kita sikapi dan dilakukan penyelesaian-penyelesaian ke desa-desa setempat,” tuturnya dalam sidang.
Baca juga: Penyitaan Kejaksaan Ancam Kelanjutan Operasional Duta Palma Group
Suheri bahkan membawa surat bukti perdamaian dengan warga untuk diperlihatkan ke majelis hakim.
“Kesepakatan penyelesaian terakhir itu tahun 2002, masyarakat tidak menuntut apapun juga, sejak itu tidak ada gejolak,” kata dia.
Adapun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa bos PT Duta Palma Group/Darmex Group, Surya Darmadi, merugikan negara hingga triliunan rupiah dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit.
Dalam surat dakwaan disebutkan Surya Darmadi merugikan Rp4.798.706.951.640 (Rp4 triliun) dan 7.885.857,36 dolar AS serta perekonomian negara sebesar Rp73.920.690.300.000 (Rp73 triliun)
“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan Raja Thamsir Rachman secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Jaksa mendakwa Surya memperkaya diri sendiri sejumlah Rp7.593.068.204.327 (Rp7 triliun) dan 7.885.857,36 dolar AS.
Perbuatannnya itu, kata jaksa, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (*)