KUHP Baru: Bikin Tetangga Keberisikan Malam Hari Siap-siap Kena Denda Maksimal Rp10 Juta
Merujuk KUHP baru, membuat tetangga keberisikan pada malam hari dapat terkenca ancaman denda maksimal Rp10 juta (kategori II).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan turut mengatur tentang gangguan terhadap ketenteraman lingkungan.
Salah satunya yakni perihal mengganggu ketentraman tetangga.
Merujuk KUHP baru, membuat tetangga keberisikan pada malam hari dapat terkenca ancaman denda maksimal Rp10 juta (kategori II).
Ini diatur dalam Pasal 265, berikut bunyinya:
Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang mengganggu ketenteraman lingkungan dengan:
a. membuat hingar-bingar atau berisik tetangga pada Malam; atau
b. membuat seruan atau tanda-tanda bahaya palsu.
Pengertian malam hari menurut KUHP baru dijelaskan pada Pasal 186, yaitu waktu di antara matahari terbenam dan matahari terbit.
DPR RI dan pemerintah akhirnya mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Baca juga: KUHP Disahkan, Hina DPR dan Lembaga Negara Lain Bisa Dipenjara 1 Tahun 6 Bulan
Dengan demikian beleid hukum pidana terbaru itu akan menggantikan KUHP yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia.
"Kami menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat paripurna.
"Setuju!' jawab peserta.
Lalu, Sufmi Dasco mengetukkan palu sebagai tanda sahnya RKUHP jadi undang-undang.
Selanjutnya, KUHP terbaru itu diserahkan ke pemerintah untuk diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan diberi nomor untuk masuk ke dalam lembar negara.
Sebagai informasi, paripurna untuk pengesahan yang terus tertunda sejak mendekati akhir masa bakti DPR periode 2014-2019 karena gelombang aksi itu dikebut meskipun masih banyak pasal yang dinilai publik bermasalah atau kontroversial.