RKUHP Disahkan: Mabuk Bikin Rusuh Didenda Rp 10 Juta
Orang mabuk kemudian mengganggu ketertiban umum hingga membahayakan keselamatan manusia lain siap-siap kena denda Rp 10 juta.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan turut mengatur tentang mengakibatkan bahaya umum.
Satu di antara yakni perihal orang mabuk kemudian mengganggu ketertiban umum hingga membahayakan keselamatan manusia lain.
Barangsiapa berbuat demikian, maka siap-siap untuk terkena denda maksimal Rp10 juta (kategori II).
Adapun pasal yang mengaturnya sebagai berikut:
Pasal 316 ayat (1):
Setiap Orang yang mabuk di tempat umum mengganggu ketertiban atau mengancam keselamatan orang lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.
Ancaman pidana semakin berat tatkala orang mabuk tersebut bekerja.
Pasal 316 ayat (2):
Setiap Orang yang dalam keadaan mabuk melakukan pekerjaan yang harus dijalankan dengan sangat hati-hati atau dapat mengakibatkan bahaya bagi nyawa atau kesehatan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (Rp50.000.000).
Baca juga: RKUHP: Pawai, Unjuk Rasa, Demonstrasi Tanpa Izin Dipenjara 6 Bulan atau Denda Rp 10 Juta
DPR RI dan pemerintah akhirnya mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Dengan demikian beleid hukum pidana terbaru itu akan menggantikan KUHP yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia.
"Kami menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat paripurna.
"Setuju!' jawab peserta.
Lalu, Sufmi Dasco mengetukkan palu sebagai tanda sahnya RKUHP jadi undang-undang.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara: RKUHP Dari Awal Dipaksakan, Penundaan Sebelumnya Hanya Basa-basi
Selanjutnya, KUHP terbaru itu diserahkan ke pemerintah untuk diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan diberi nomor untuk masuk ke dalam lembar negara.
Sebagai informasi, paripurna untuk pengesahan yang terus tertunda sejak mendekati akhir masa bakti DPR periode 2014-2019 karena gelombang aksi itu dikebut meskipun masih banyak pasal yang dinilai publik bermasalah atau kontroversial.