Akademisi: Indonesia Tidak Bisa Seutuhnya Tiru Demokrasi Negara Barat
Indonesia tidak bisa secara penuh mengadopsi politik demokrasi dari negara-negara barat yang terlalu liberal.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia tidak bisa secara penuh mengadopsi politik demokrasi dari negara-negara barat yang terlalu liberal.
Hal tersebut disampaikan Dekan FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia, Heri Herdiawanto dalam Talkshow bersama Tribun Network dan Wartakotalive: Memilih, Damai dengan tema 'Membedah Genealogi Presiden dari Masa ke Masa' yang dipandu Pemimpin Redaksi Wartakotalive, Domu Ambarita dan diselenggarakan di Universitas Al-Azhar, Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Heri mengusulkan adanya praktik demokrasi yang juga mengadopsi kearifan lokal Indonesia, dimana Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai baik beragama.
"Diumpamakan seperti jaket atau baju, kita tidak bisa meniru seutuhnya demokrasi barat, tapi ada kearifan lokal di negara kita. Kenapa kita tidak coba tawarkan demokrasi religius, demokrasi yang dijiwai oleh nilai-nilai agama di Indonesia yang berjumlah 6. Ada Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, kenapa tidak kita akomodir untuk memperkaya prinsip-prinsip demokrasi secara praktikal metodologisnya," kata Heri.
Menurut Heri, Indonesia patut bersyukur menjadi sebuah negara yang kaya dalam keberagaman.
Namun akan menjadi masalah jika keberagaman menjadi sumber perpecahan.
Oleh sebab itu, menurut Heri generasi muda perlu diajarkan untuk berpikiran terbuka, egaliter, dan objektif.
"Bhineka Tunggal Ika itu kata sakti. Kita itu berbeda-beda tapi satu jua. Kita harus transformasikan kepada generasi muda," ujarnya.
Heri mendorong generasi muda untuk menjadi bagian dari demokrasi.
Meski Indonesia merupakan negara religius, diharapkan generasi muda Indonesia ketika memilih tidak terjebak dalam politik identitas atau politik aliran.
Dekan Al-Azhar itu meyakini bahwa generasi saat ini cukup cerdas dalam memilah dan memilih pemimpin di Pemilu 2024.
Baca juga: Panggung Demokrasi Tribunnews 7 Desember 2022: Menanti Langkah Prabowo Capres
"Namanya karakter, atau akhlak itu diawali internalisasi nilai-nilai yang terus menerus sehingga menjadi habit atau kebiasaan. Itulah identity," ujarnya.
"Kenapa tidak, dalam konteks kontestasi pemilu pun kita lengkapi kekurangan demokrasi itu dengan demokrasi religius itu. Dan itu kita punya. Itu sebagai tawaran," kata Heri.
Saksikan juga Talkshow Nasional: Partai Lama vs Partai Baru Jelang Pemilu 2024 di bawah ini:
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.