BNPT Ungkap 24 Anak Terlibat Terorisme dalam Lima Tahun Terakhir
Adapun 24 anak itu terdiri dari 15 napi terorisme (napiter), tujuh pelaku bom Surabaya, dan dua anggota Foreign Terrorist Fighters (FTF) Syria.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat ada 24 anak di bawah umur terlibat peristiwa terorisme di Indonesia.
Adapun 24 anak itu terdiri dari 15 napi terorisme (napiter), tujuh pelaku bom Surabaya, dan dua anggota Foreign Terrorist Fighters (FTF) Syria.
Mereka melakukan tindak pidana terorisme pada rentang tahun 2010 hinga 2015.
“Sampai saat ini untuk perkara anak yang melakukan tindak pidana terorisme itu ada 15. Yang dalam persepktif penegakan hukum, itu ada bom Surabaya tujuh orang, ada FTF juga dua orang. Jumlahnya sekitar 24 orang,” kata Koordinator Tim Analisis dan Evaluasi Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rahmat Sori Simbolon dalam acara Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia menurut KUHP Baru: Suatu Catatan Akhir Tahun pada Senin (12/12/2022).
Baca juga: Jenazah Pelaku Bom di Bandung Sempat Ditolak Keluarga, Agus Sujatno Dianggap Teroris oleh Istrinya
Tujuh pelaku bom Surabaya dan dua anggota FTF Syria diketahui merupakan anak dari para napiter yang telah dijatuhi hukuman.
Sementara dari 15 napiter di bawah umur, Rahmat mencontohkan adanya pelaku penusukan polisi di Dompu pada 2012 silam berinisial US.
Kemudian ada IH yang merupakan pelaku penyerangan dan penyanderaan gereja pada tahun 2016.
Lalu ada DG yang setelah bebas menjadi residivis atau pelaku tindak pidana serupa dalam penembakan polisi di Poso pada tahun 2020.
“Di antara 15 itu, salah satunya melakukan residivisme. Jadi pada waktu itu dia melakukan tindak pidana. Kemudian dia keluar dan mati karena melakukan tindak pidana yang kedua,” kata Rahmat.
Meski demikian kelima belas napiter di bawah umur itu disebut Rahmat sempat dibina di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
“15 ini sudah ada di dalam LPKA,” katanya.
Pengulangan tindak pidana serupa atau residivisme bagi anak-anak, khususnya dalam tindak pidana terorisme sangat disayangkan.
Padahal menurut Rahmat, hal itu dapat dicegah jika seluruh napiter memperoleh deradikalisasi dan bukan sebagai program opsional atau pilihan.