Kubu Arif Rahman: Laptop yang Dipatahkan Tak Bisa Buktikan Adanya Tindakan Obstruction of Justice
Barang bukti yang dimaksud tak lain terkait perkara dugaan perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Brigadir J.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kubu terdakwa Arif Rachman Arifin menyatakan kalau keterangan dari ahli Laboratorium Forensik (Labfor) Polri Heri Priyanto menunjukkan yang bersangkutan tidak dapat memastikan isi laptop yang menjadi barang bukti.
Barang bukti yang dimaksud tak lain terkait perkara dugaan perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J.
Sebagai informasi, barang bukti yang dimaksud itu merupakan satu unit laptop yang dipatahkan oleh Arif Rahman usai rekaman CCTV di Komplek Polri, Duren Tiga, disalin bersama terdakwa Baiquni Wibowo.
"Ahli Puslabfor tidak bisa memastikan apa isi laptop. Kemudian, Labfor juga mengakui redaksional barang yang tertulis di tanda terima itu berbeda dengan yang dia periksa, hasil laporan Glenz tapi barang yang diterima sesuai tanda terima tertulis Hybrid," tutur Junaidi saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (16/12/2022).
Lebih lanjut kata Junaidi, jika mendasar pada Peraturan Kapolri (Perkap), tidak seharusnya pemeriksaan dilanjutkan jika tanda terima berbeda dengan barang yang akan diperiksa.
Baca juga: Pengacara Arif Rachman Nilai Jaksa Penuntut Umum Paksa Saksi Kenali Bukti CCTV Duren Tiga
Terlebih kata dia, pemeriksaan DVR CCTV tersebut dilakukan atas permintaan Polres Jakarta Selatan untuk perkara yang sejatinya sudah dihentikan alias SP3.
"Satu-satunya informasi yang bisa diperoleh dari pemeriksaan DVR adalah analisa log yang tampak ada abnormal shutdown, tapi ternyata Ahli tidak dapat memastikan bahwa itu terjadi karena perbuatan manusia, karena bisa juga karena sistem. Dan belum tentu karena abnormal shutdown pasti rusak," kata dia.
Terkait laptop yang dipatahkan kliennya, lanjut dia, barang tersebut sejatinya merupakan objek milik pribadi terdakwa Baiquni Wibowo bukan perangkat yang ada kaitannya dengan sistem CCTV Duren Tiga.
Oleh karenanya, laptop tersebut menurut dia, memiliki nilai yang berbeda dari yang seharusnya menjadi barang bukti kasus obstruction of justice.
"Terdapat ketidaksesuaian dengan fakta, yaitu saat dipatahkan laptop belum menjadi barang bukti. Laptop menjadi barang bukti setelah diserahkan secara sukarela sebagai sarana yang pernah dipakai untuk menonton file copy isi DVR," kata dia.
Lebih lanjut, keberadaan laptop itu kata dia, tidak menentukan terjadi atau tidak terjadinya pidana pembunuhan.
Sebab, dalam kasus perintangan penyidikan, tindakan yang dianggap menghalangi yakni salah satunya menghancurkan bukti yang berhubungan langsung dengan pidana utama, dalam hal ini pembunuhan.
"Laptop kondisi kosong, file yang ada dalam laptop sama dengan file yang ditemukan dalam hardisk Baiquni. Laptop hanya sarana menonton, bukan barang bukti yang berhubungan langsung dengan pembunuhan korban," tukas dia.
Sebagai informasi, dalam perkara ini, Arif Rahman didakwa berperan mematahkan laptop yang digunakan untuk menyalin rekaman DVR CCTV di Komplek Polri, Duren Tiga.
Momen mematahkan laptop itu dilakukan Arif saat yang bersangkutan ingin menyerahkan perangkat CCTV ke Polres Metro Jakarta Selatan usai penembakan Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J.
Laptop itu dipatahkan setelah Baiquni Wibowo yang saat itu bersama Arif Rahman Arifin diam-diam menyalin rekaman CCTV ke harddisk eksternal dan dibawa pulang.
Setelahnya hasil rekaman itu disaksikan secara bersama-sama oleh beberapa penyidik Polri termasuk Arif Rahman, Chuck Putranto dan Baiquni Wibowo serta mantan Kasat Reskrim Polres Jaksel Ridwan Soplanit.
Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.