KUHP Baru Akomodir Hukum Adat, Akademisi: Mengerikan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan menjadi undang-undang menuai berbagai pro-kontra.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan menjadi undang-undang menuai berbagai pro-kontra.
Satu di antaranya ialah pasal yang mengakomodir living law atau hukum yang hidup di masyarakat.
Menurut pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jantera, Asfinawati, peraturan tersebut dianggap mengerikan. Sebabnya, tidak ada acuan yang pasti karena bergantung pada adat masing-masing daerah.
"Kenapa saya bilang mengerikan? Karena setiap daerah akan punya hukum pidana sendiri berdasarkan pemerintahan daerah di situ," ujarnya dalam acara Diskusi Publik UU KUHP & Kemunduran Demokrasi pada Jumat (16/12/2022).
Dia mencontohkan hukum adat yang berlaku di Aceh yang tidak memperbolehkan dua orang yang bukan muhrim berduaan.
"Misalnya ke Aceh. Karena memang datangnya ramai-ramai, ada kemudian bapak-bapak masuk ke kamar. Maksudnya mau nolongin: Bu mau makanan apa? datanglah polisi syariah, digrebek," katanya.
Meski telah berupaya menjelaskan situasi yang terjadi, namun bisa saja kita tetap dikenakan hukum adat yang berlaku.
"Tiba-tiba nanti bisa kena cambuk. Itu mengerikan sekali karena kita enggak tahu," ujar Asfinawati.
Kemudian dia juga mencontohkan sanksi adat yang dapat dikenakan saat berada di Papua.
"Datang ke Papua, enggak punya maksud apapun, ternyata melanggar hukum adat mereka. Disuruh membayar denda. Dendanya adalah saharga empat babi. Satu babi harganya adalah Rp 60 juta dikali empat, Rp 240 juta," katanya.
Baca juga: KUHP Banyak Dikritik, DPR Ingatkan Polisi Kedepankan Restorative Justice
Sementara itu, hukum adat tak hanya ada di dua daerah tersebut. Sebab, Indonesia terdiri dari banyak provinsi dengan budaya yang berbeda-beda.
Oleh sebab itulah, law living dianggap mengerikan.
"Apalagi ada daerah yang mungkin kita enggak pernah ke sana sama sekali. Mereka punya pidana sendiri dan akan diberlakukan dengan pasal hukum yang hidup di masyarakat. Itu sangat mengerikan," kata Asfinawati.