Ahli Pidana Sebut Keterangan Ricky Rizal soal Kejadian di Magelang Berpotensi Distorsi
Keterangan terdakwa Ricky Rizal soal kejadian di Magelang dalam kasus tewasnya Brigadir J berpotensi distorsi atau keterbalikan fakta.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNES.COM, JAKARTA - Ahli Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muhammad Arif Setiawan mengatakan keterangan terdakwa Ricky Rizal soal kejadian di Magelang dalam kasus tewasnya Brigadir J berpotensi distorsi atau keterbalikan fakta.
Hal itu disampaikan oleh Arif saat dihadirkan sebagai ahli meringankan oleh kubu Ricky Rizal dalam sidang, Senin (2/1/2023).
Dikatakan berpotensi distorsi karena menurut Arif, keterangan Ricky Rizal hanya berlandaskan pada pemahaman memori yang tersimpan terkait kejadian tersebut.
Sebab keterangan Ricky Rizal, kata dia, baru dimintakan baik oleh penyidik maupun dalam persidangan setelah peristiwa terjadi dalam kurun waktu yang panjang.
"Karena kita tahu bahwa memang betul ada terdapat potensi distorsi terhadap apa yang dialami yang kemudian tersimpan di memori kemudian diungkapnya kembali," kata Arif dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Baca juga: Saksi Ahli Jelaskan Profil Psikologis Ricky Rizal: Patuh dan Kelola Emosi dengan Baik
Tak hanya itu, Nathanael juga menyebut kalau keterangan dari Ricky Rizal hanya berkualitas rendah karena tidak berbasis fakta melainkan hanya memori.
Keterangan itu diungkap saat tim kuasa hukum Ricky Rizal membeberkan keterangan kliennya soal kejadian di Magelang kepada mereka.
Nathanael membenarkan pernyataan tersebut.
"Jadi yang perlu saya sampaikan pertama kali adalah mengenai fakta yang bapak sampaikan ini didasari oleh keterangan yang disampaikan saudara Ricky (alami) tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu, katankanlah seperti itu," kata Nathanael.
"Dan tadi juga bapak sudah kemukakan memang bahwa betul saya terlibat sebagai tim asosiasi psikologi forensik yang melakukan pemeriksaan terhadap kasus ini, dan saya juga melakukan wawancara terhadap yang bersangkutan, mengenai peristiwa yang terjadi dan info keterangan yang diberikan (Ricky) kurang lebih seperti yang bapak kemukakan," sambungnya.
Kendati demikian, Nathanael menyebut kalau keterangan itu hanya berbasis memori yang di mana kejadian bisa diceritakan meski terjadi dalam waktu lampau.
Adapun seseorang bisa menjelaskan kejadian tersebut atas proses penghimpunan yang dilakukan atau diperoleh beberapa waktu setelahnya.
Atas hal itu, Nathanael menegaskan, keterangan itu harus terus diuji guna menjaga konsistensi apa yang sudah disampaikan oleh yang bersangkutan.
"Sehingga yang saya katakan pertama kali adalah kita juga perlu mengevaluasi keterangan yang disampaikan oleh seseorang berkaitan dengan peristiwa di masa lalu, ini secara umum dalam berbagai peristiwa hukum," kata dia.
Dalam konteks psikologi forensik, terdapat salah satu metode yang dilakukan yakni dengan wawancara kepada yang terlibat dalam hal ini Ricky Rizal.
Pada proses wawancara itu, dijelaskan turut dilakukan dengan menggunakan metode basis bukti yang menurut Nathanael harus didasari dengan riset.
Oleh karena itu, karena keterangan yang diterima hanya berbasis wawancara pada peristiwa lampau, maka dirinya menyimpulkan keterangan dari Ricky Rizal tersebut berkualitas rendah.
"Ketika kami mendapati bahwa suatu teknik atau metode, wawancara yang digunakan adalah metode atau teknik yang tidak berbasis bukti, artinya berbasis bukti berbasis riset bahwa ini efektif, maka kemudian ini bisa dikatakan kualitas dari keterangannya adalah kualitas keterangan yang rendah," tutur dia.
"Nah yang kami lakukan dalam pemeriksaan psikoligi forensik, kami menerapkan teknik-teknik wawancara yang memang berbasis riset sebelumnya, dianggap ini efektif untuk kemudian kita memahami apa yang terjadi di masa lalu," tukasnya.
Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.