Kajian KPK: Potensi Korupsi Tinggi, 65 Persen Pengguna Layanan Pertanahan Gunakan Jasa Kuasa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapati fakta bahwa pelayanan pertanahan bagi masyarakat umum masih terkesan sulit.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapati fakta bahwa pelayanan pertanahan bagi masyarakat umum masih terkesan sulit sehingga sebagian besar memilih menggunakan kuasa.
Hal ini didapati setelah KPK melalui Direktorat Monitoring melakukan kajian ‘Pemetaan Layanan Pertanahan Tahun 2022’.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan kajian ini mencatat sebanyak 65 persen pengguna dari semua jenis layanan menggunakan kuasa baik dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau mitra.
Data ini keluar setelah tim monitoring melakukan analisis terhadap 1.023 berkas layanan pertanahan tahun 2022 pada 12 kantor pertanahan (Kantah) se-Jabodetabek.
“Hal ini adalah potret yang dirasakan masyarakat dan menunjukan ada gejala dan fenomena rentan potensi korupsi,” kata Ghufron dalam dalam keterangannya dikutip pada Rabu (4/1/2023).
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyebutkan tujuh dari 12 Kantah di Jabodetabek, sebesar 90% layanan peralihan hak menggunakan kuasa.
Bahkan seluruh Kantah di Jakarta Utara dan Jakarta Barat 100% layanan peralihan menggunakan kuasa.
Masifnya penggunaan kuasa pada saat proses layanan pertanahan disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, jenis layanan pertanahan belum dipahami masyarakat secara jelas, kedua, sebagian besar layanan pertanahan belum online.
Baca juga: Komisi II DPR RI Segera Bentuk Panja Konflik Pertanahan
Ketiga, layanan pertanahan yang dapat diakses secara online (cek sertifikat, hak tanggungan, surat keterangan pendaftaran tanah, informasi zona nilai tanah) hanya dapat diakses oleh akun PPAT/mitra.
Keempat, layanan pertanahan melalui PPAT/mitra lebih cepat selesai, kelima, layanan peralihan hak mayoritas di-bundling oleh PPAT.
“Akibatnya layanan melalui kuasa membuat biaya layanan menjadi lebih mahal dari tarif resmi. Juga membuka peluang terjadinya gratifikasi dari tarif resmi,” kata Pahala.
Permasalahan selanjutnya ialah waktu layanan melebihi Service Level Agreement (SLA) dan terjadi diskriminasi pelayanan.