Respons LPSK Dkiritik DPR Kalah Cepat dari Hotman Paris Tangani Korban Kekerasan Seksual di Lahat
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan pihaknya terbuka atas kritik dan saran yang disampaikan semua pihak, termasuk DPR RI.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merespons kritik DPR RI yang menyebut kalah cepat dengan pengacara kondang Hotman Paris dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan berusia 17 tahun di Lahat, Sumatera Selatan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan pihaknya terbuka atas kritik dan saran yang disampaikan semua pihak, termasuk DPR RI.
Ia pun mengapresiasi DPR RI yang menyampaikan kritik sebagai masukan untuk memperbaiki LPSK kedepannya.
Edwin mengatakan LPSK tak henti melakukan tindakan proaktif memberikan perlindungan kepada saksi dan korban, khususnya terkait kasus pidana.
“Buat LPSK bukan suatu hal yang baru untuk melakukan aktifitas proaktif. aktifitas proaktif itu adalah kasus-kasus yang menarik perhatian publik,” ucap Edwin Partogi ketika dihubungi, Selasa (17/1/2023).
Baca juga: Legislator Gerindra Kritik LPSK, Kalah Cepat dengan Hotman Paris Tangani Korban Rudapaksa di Lahat
“Jadi kami sangat terbuka sangat siap lakukan proaktif sepanjang memang ada informasi yang misalnya peroleh yang pada kasus itu kami ikuti ada kemungkinan pelaku lainnya,” kata dia menambahkan.
Edwin mengatakan kasus kekerasan seksual di Lahat tersebut, pihaknya belum mendapatkan informasi.
Ia mengatakan pihaknya baru mengetahui setelah melihat pemberitaan melalui media massa.
“Gak ada. kami juga sama, kami juga baru tahu dari berita,” ujarnya.
“Biasanya informasi itu kita peroleh dari pemberitaan media, kemudian sosial media maupun jaringan,” tambah Edwin.
Ia pun berkomentar soal Hotman Paris yang turun tangan membantu korban kekerasan seksual tersebut.
Menurutnya, itu hanya persoalan preferensi korban untuk memilih pihak untuk membantu dalam menangani kasus tersebut.
“Kalau ditanya kita kalah cepat sama Hotman Paris misalnya begitu, kan bisa juga ditanya balik, misalnya apakah Hotman Paris yang menjangkau korban atau korban yang menjangkau Hotman Paris,” ucapnya.
“Di sisi lain juga karena sifatnya voluntary sukarela, pihak korbannya juga harus juga bersedia. Jadi kesediaan korbannya juga harus terpenuhi,” lanjut Edwin.
Anggaran Jadi Hambatan
Lebih lanjut Edwin mengatakan LPSK terus melakukan sosialisasi agar dapat dikenal masyarakat Indonesia secara luas.
Namun upaya tersebut terbentur anggaran hingga Sumber Daya Manusia (SDM) di LPSK. Adapun lembaga ini mendapat pagu anggaran di 2023 sebesar sebesar Rp228,16 miliar. Jumlah tersebut dialokasikan untuk pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan wewenang LPSK.
Meski mengakui adanya peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya Rp152 triliun, namun angka tersebut belum mencukupi operasional secara keseluruhan LPSK.
Apalagi, kata Edwin, jika dibandingkan dengan kementerian/lembaga lain, anggaran LPSK ini tergolong jauh lebih rendah.
“Anggaran Humas kami bisa dibilang sangat rendah. ya kawan bisa coba cek aja anggaran humas kementerian lain, berapa anggaran humas di BNPT, di Komisi Yudisial, di KPK, di Mabes Polri,” katanya.
Belum lagi, sambung Edwin, jumlah personel LPSK yang tidak terlalu banyak, harus menangani keperluan saksi dan korban.
Pada 2022 ini, LPSK tercatat telah menerima 7.777 permohonan perlindungan sepanjang 2022. Jumlah ini meningkat 232 persen dari sebanyak 2.341 permohonan pada 2021.
Belum lagi angka kasus pidana nasional yang terus meningkat, yang juga berdampak pada bertambahnya jumlah permohonan saksi dan korban.
“Masih kecil. Artinya semakin masyarakat mengenal LPSK, semakin ekspektasi semakin tinggi, maka permohonannya semakin banyak masuk.”
“Permohonan semakin banyak masuk jika jumlah SDM-nya tidak mencukupi, maka itu akan mempengaruhi dari kecepatan bahkan akan mempengaruhi dari kualitas kerja LPSK,” papar Edwin.
Kendati demikian, ia mengatakan bahwa hal ini bukan menjadi hambatan LPSK menjalankan kinerja dengan maksimal. Ia menegaskan pihaknya bakal tetap bekerja sesuai tupoksi dan ketentuan Undang-Undang.
Edwin pun berharap para saksi dan korban tak segan mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK. Sebab, kata dia, LPSK secara terbuka menerima permohonan, termasuk melalui aplikasi perpesanan instan seperti Whatsapp.
Masyarakat dapat menghubungi nomor 085770010048 atau via email. Edwin menegaskan pengajuan permohonan LPSK tidak dipungut biaya sepeser pun dan akan sesegera mungkin ditanggapi.
“Kepada semua korban tindak pidana yang merasa membutuhkan perlindungan, ajukan ke LPSK. Permohonan ke lpsk itu gratis, dan mudah, lewat WhatsApp juga bisa.”
“Jadi bisa kirimm surat bisa nomor WhatsApp. Jadi di mana pun berada bisa di WhatsApp aja LPSK,” kata Edwin.
DPR Soroti LPSK Kalah Cepat dengan Hotman Paris Tangani Korban Kekerasan Seksual di Lahat
Anggota Komisi III DPR RI fraksi Partai Gerindra Habiburokhman, mengkritik Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena tak bergerak cepat menangani perkara rudapaksa terhadap seorang anak perempuan berusia 17 tahun di Lahat, Sumatera Selatan.
Hal itu disampaikan Habiburokhman dalam rapat kerja dengan LPSK di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/1/2023).
Habiburokhman menyoroti ramainya kasus tersebut lantaran vonis ringan terhadap pelaku.
"Bisa sampai vonis ringan saya pikir karena sejak awal kita lalai, tidak maksimal memberikan perlindungan kepada korban. Sehingga mungkin korban yang secara struktural keluarganya lemah bisa diintimidasi, bisa ditekan, dan dipaksa menerima vonis yang begitu ringan," kata Habiburokhman.
Menurut Habiburokhman, vonis ringan tidak perlu terjadi apabila LPSK berinisiatif jemput bola sejak awal kasus.
Namun, lanjut dia, pada kenyataannya, kasus tersebut luput dari pantauan LPSK.
"Yang seperti ini saya pikir perlu dimaksimalkan pak. Jemput bola kirim tim ke sana sejak awal, persidangan dipantau kinerja jaksanya sampai jaksa berhubungan dengan siapa dan lain sebagainya," ujar dia.
Vonis 10 Bulan Kurungan
Sebelumnya, pelaku kekerasan seksual terhadap AP (17) yang tercatat masih duduk dibangku sekolah divonis 10 bulan hukuman kurungan.
Vonis yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lahat, Muhamad Chozin Abu Sait SH ini, lebih tinggi tiga bulan dari tuntujan JPU Kejari Lahat, yang menuntut tujuh bulan kurungan.
Vonis tersebut dianggap pihak keluarga korban tak adil.
Terpisah, saat dibincangi media ini Kasi Pidum Kejari Lahat Frans Mona, SH MH menerangkan alasan kenapa M Abby Habibullah SH selaku JPU dalam kasus tersebut menuntut tujuh bulan kurangan kepada kedua pelaku.
Diterangkan Fran, tuntutan mempertimbangkan bahwa kedua pelaku merupakan anak anak. Tak hanya itu, keduanya juga masih tercatat sebagai pelajar aktif.
"Kondisi tersebut menjadi pertimbangan bagi JPU,” katanya.
Selain itu, berdasarkan fakta persidangan terungkap fakta baru yaitu beberapa potongan video, foto dan pesan singkat antara korban dan pelaku.
Ditegaskannya, berdasarkan pasal 2 UUSPPA perampasan kemerdekaaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran pembalasan serta pelindungan.
Kemudian, berdasar pasal 3 UUSPPA anak dalam proses peradilan berhak tidak ditangkap, di tahan, atau di penjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yg paling singkat, dan anak juga berhak memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yg objektif dan tidak memihak.
Pasal 79 ayat 3 UUSPPA minumum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak.
"Jadi dalam fakta persidangan itu terdapat bukti baru. Video dan foto yang itu hanya terungkap dalam persidangan. Yang kemudian menjadi pertimbangan juga bagi JPU, "ungkapnya.