Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

ICW Nilai Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa akan Menyuburkan Oligarki dan Politisasi Desa

Perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun patut ditolak DPR dan pemerintah.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in ICW Nilai Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa akan Menyuburkan Oligarki dan Politisasi Desa
WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Ribuan perangkat desa se-Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/1/2023). Mereka menuntut terkait kejelasan status kepegawaian perangkat desa dan ingin mendapat payung hukum yang jelas terkait status kepegawaian. Selain itu, mereka menuntut penerbitan Nomor Induk Perangkat Desa (NIPD). W 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun patut ditolak DPR dan pemerintah.

Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, selain bernuansa politis dengan tukar guling dukungan menuju kontestasi pemilu 2024, usulan tersebut sama sekali tidak relevan dengan urgensi kebutuhan pembenahan desa.

"Sebaliknya, akomodasi atas usulan tersebut akan menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa," katanya lewat keterangan tertulis, Jumat (27/1/2023).

Kurnia mengungkapkan bahwa desa hari ini masih dilingkupi sejumlah masalah, mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif dari partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi.

Baca juga: Fahri Hamzah: Lebih Baik Tambah Dana Desa daripada Masa Jabatan Agar Anak Muda Minat Jadi Kades

Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa belum optimal.

Oleh karena itu, menurut Kurnia, pengambil kebijakan, baik itu eksekutif maupun legislatif, seharusnya fokus urun rembuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk di dalamnya mereduksi potensi korupsi.

Berita Rekomendasi

"Bukan menyambut usulan yang justru akan memperburuk masalah di desa," ujarnya.

Kurnia membeberkan bahwa tren penindakan korupsi yang diinventarisir ICW setiap tahun menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan desa.

Korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021.

"Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp433,8 miliar," ungkapnya.

Korupsi di Desa Meningkat?

Kurnia mengatakan korupsi yang makin meningkat di desa berjalan beriringan dengan peningkatan alokasi dana yang cukup besar untuk membangun desa.

Sejak 2015-2021, dipaparkannya, Rp400,1 triliun dana desa telah digelontorkan untuk keperluan pembangunan desa, baik dalam hal pembangunan fisik maupun manusia melalui program pengembangan masyarakat dan penanganan kemiskinan ekstrim.

Ia menyebut korupsi yang terjadi di desa akan berdampak pada kerugian yang dialami langsung oleh masyarakat desa.

"Hal ini perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Hingga saat ini, belum ada solusi dan langkah pencegahan efektif untuk menekan korupsi di desa," kata Kurnia.

Sebabkan Tiga Masalah Mendasar

ICW menilai usulan perpanjangan masa jabatan kades jika diakomodir justru akan menyebabkan tiga masalah mendasar.

Pertama, perpanjangan masa jabatan kepala desa akan membuat iklim demokrasi dan pemerintahan desa menjadi tidak sehat dan bahkan dapat menyuburkan oligarki di desa.

Belum lagi ditambah fenomena dinasti yang juga muncul dalam pemilihan kepala desa.

"Akibatnya, potensi sebuah desa dipimpin oleh kelompok yang sama selama puluhan tahun semakin terbuka lebar," sebut Kurnia.

Kedua, perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 yang menekankan limitasi terhadap kekuasaan di cabang eksekutif. Salah satunya dengan memberikan batasan jelas terhadap periode maupun lama jabatan.

"Upaya untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa jelas bertentangan dengan semangat konstitusional tersebut," kata Kurnia.

Ia menjelaskan bahwa Pasal 39 UU Desa mengatur bahwa satu periode masa jabatan kepala desa yaitu selama enam tahun. Kepala desa juga dapat menjabat paling banyak tiga periode, baik secara berturut-turut ataupun tidak.

Konstruksi pembatasan masa jabatan demikian telah diteguhkan konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 42/PUU-XIX/2021.

Kurnia bilang, dibanding masa jabatan pejabat lain yang lahir dari mandat masyarakat, seperti kepala daerah, presiden, dan anggota legislatif, masa jabatan kepala desa ini jauh lebih panjang.

"Sayangnya, ide perpanjangan itu tidak didukung dengan argumentasi yang jelas dan cenderung bermuatan politis," katanya.

Ketiga, respons positif atas usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa akan membawa preseden buruk dan patut dicurigai sebagai pintu masuk perpanjangan masa jabatan presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif.

Kurnia berujar, jika usulan tersebut diakomodasi, bukan tidak mungkin selanjutnya masa jabatan elected officials lain bisa diwacanakan untuk diperpanjang. Terlebih, narasi perpanjangan masa jabatan ini bukan kali pertama.

"Pada 2022 silam, Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPP APDESI) yang dipimpin Surta Wijaya mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo menjabat selama tiga periode," ujarnya.

Dia menekankan bahwa tiga poin dimaksud bukan tanpa dasar. Gejala melanggengkan kekuasaan petahana kerap dimunculkan sejumlah kelompok belakangan waktu terakhir.

Modelnya pun beragam, mulai dari penundaan pemilu, menambah masa jabatan presiden, hingga menjadikan periode waktu kepemimpinan presiden menjadi tiga periode.

"Atas dasar itu, ide untuk merevisi UU Desa dengan substansi terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa patut dicuragai sebagai agenda terselubung dari kelompok tertentu," kata Kurnia.

Lepas dari itu, menurutnya, alasan bahwa enam tahun dinilai tidak cukup membangun desa karena adanya menimbulkan ketegangan dan polarisasi masyarakat pasca pilkades bukan alasan tepat untuk dijadikan sebagai justifikasi memperpanjang jabatan kepala desa.

Dia menyebut, solusi atas persoalan ini adalah pembenahan pada sektor pilkades yang diketahui transaksional atau rentan jual beli suara serta konflik.

"Alih-alih menjegal usulan perpanjangan masa jabatan, sinyal positif justru ditunjukkan sejumlah partai politik dan politisi DPR. Tidak mengherankan, sebab, ada ceruk suara besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis di desa," ujar Kurnia.

"Atas dasar itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar pembentuk UU secara tegas menolak usulan ganjil ini dan menghentikan wacara perpanjangan masa jabatan kepala desa," tandasnya.

Kronologis

Sebelumnya, ribuan kepala desa berunjuk rasa di gedung DPR RI Jakarta pada Selasa (17/1/2023).

Mereka menuntut masa jabatannya diperpanjang sembilan tahun.

Para kades itu mendesak ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 yang membatasi masa jabatan mereka hanya enam tahun dan bisa mencalonkan diri tiga periode direvisi.

Pada Senin (23/1/12023), Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), DPP Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (Abpednas), dan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PPDI) mengajukan sejumlah tuntutan.

Diantaranya adalah masa jabatan diperpanjang menjadi sembilan tahun dan boleh maju dalam tiga periode.

Dengan demikian, total masa jabatan kades 27 tahun.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas