Ketua Banggar DPR: Utang Pemerintah Jadi 'Amunisi' Serangan Kelompok Oposisi
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan utang pemerintah kerap dijadikan amunisi oposisi untuk melakukan serangan.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan utang pemerintah kerap dijadikan amunisi oposisi untuk melakukan serangan.
"Utang pemerintah dijadikan “amunisi” serangan kelompok oposisi dan manula post power syndrome terhadap pemerintah," kata Said di Jakarta, Sabtu (28/1/2023).
Namun, Said menyebut jika terkadang informasi yang disajikan tidak utuh dan rentan memprovokasi masyarakat.
"Sayangnya informasi yang disajikan tidak utuh, rentan memprovokasi rakyat, sungguh sangat tidak elok," ujarnya.
Menurutnya, untuk menilai utang pemerintah bisa mengacu pada beberapa pertimbangan penting; pertama, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, perbandingan kebijakan utang dari berbagai negara, terutama dari negara negara yang sepadan dengan Indonesia.
Ketiga, credit rating dari berbagai lembaga internasional, dan keempat, kebijakan mitigasi resiko pengelolaan utang pemerintah.
"Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kita jadikan acuan agar jernih menduduk letakkan informasi tentang utang pemerintah secara proporsional," ungkap Said.
Said menjelaskan bila mengacu laporan pemerintah melalui APBN 2022, jumlah utang pemerintah hingga Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun setara 39,57 persen produk domestik bruto (PDB).
"Meskipun dari sisi jumlah utang pemerintah lebih besar dibanding Desember 2021, yakni berjumlah Rp 6.908,87 triliun, namun rasio utang terhadap PDB pada tahun 2022 lebih rendah, dari 40,74 persen menjadi 39,57 persen," jelasnya.
Ia menuturkan keseluruhan utang pemerintah hingga Desember 2022 terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 6.846,89 triliun atau 88,53 persen dari total utang pemerintah, sisanya berupa pinjaman sebesar Rp 887,10 triliun atau 11,47 persen.
Berdasarkan keempat pertimbangan dan data utang pemerintah itu, kata Said, maka perlu uraikan lebih rinci.
Said menegaskan berpedoman pada undang-undang (UU) No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur batas atas pinjaman (utang) pemerintah maksimal sebesar 60 persen dari PDB.
"Saat ini posisi utang pemerintah sebesar 39,57 persen PDB, artinya masih jauh di bawah ketentuan undang-undang, sehingga tidak ada norma peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakan utang," ucapnya.
Ia menyebut bahwa bila bandingkan dengan negara-negara yang sepadan dengan Indonesia, jumlah utang pemerintah jauh lebih rendah rasionya dari PDB negara-negara tersebut.
Baca juga: Banggar DPR: Inflasi RI Lebih Rendah di Tahun 2022 Ketimbang Negara Lain
"Rasio utang India mencapai 89,26 persen PDB mereka, Malaysia 63,3 persen, Filipina 60,4 persen, Afrika Selatan 69,9 persen, Thailand 59,6 persen, dan Vietnam 39,6 persen," ungkap Said.
Bahkan, Said menuturkan jika bandingkan dengan negara-negara maju, utang pemerintah Indonesia justru jauh lebih rendah.
"Rasio utang Tiongkok terhadap PDB mereka 71,5 persen, kawasan Eropa 95,6 persen, Finlandia 72,4 persen, Perancis 113 persen, Jerman 69,3 persen, Inggris 97,4 persen, Amerika Serikat (AS) 137 persen, Jepang 262 persen, Singapura 160 persen," ucapnya.
Menurutnya, kebijakan utang dari sejumlah negara tersebut ditempuh secara agresif sebagai pilihan untuk memperbesar ruang fiskal mereka, agar porsi belanja produktif pemerintah kian besar untuk melaksanakan pembangunan.
Ia mengungkapkan jika Lembaga Pemeringkat Kredit Fitch Ratings dan Standard & Poor's (S&P) memberikan penilaian terhadap utang pemerintah pada posisi BBB outlook stable.
Penilaian lebih baik diberikan oleh lembaga Rating & Investment (R&I) dan Japan Credit Rating Agency (JCR) di level BBB+ outlook stable, sementara Moody’s memberikan penilaian Baa2 outlook stable.
"Penilaian berbagai lembaga kredibel internasional di atas menjelaskan bahwa utang pemerintah dilevel moderat. Penilaian ini menjelaskan bahwa kebijakan utang pemerintah tidak ugal-ugalan seperti prasangka buruk oposisi dan kalangan manula post power syndrome yang mendistorsi informasi ke rakyat," tutur Said.
Pemerintah, kata dia, telah menjalankan kebijakan mitigasi resiko utang sebagai wujud tata kelola pemerintahan baik (good governance).
Lebih lanjut, Said menerangkan pemerintah telah menjalankan pengaman risiko utang, seperti mengedepankan pembiayaan bersumber dari dalam negeri untuk mendorong pembiayaan lebih mandiri dan mengurangi risiko nilai tukar
"Terlihat kepemilikan asing terhadap utang pemerintah terus menurun sejak 2019. Kepemilikan asing terhadap utang pemerintah tahun 2019 yang mencapai 38,57 persen, pada akhir tahun 2021 menurun ke posisi 19,05 persen, dan per akhir Desember 2022 mencapai 14,36 persen," jelasnya.
Ia mengatakan menurunnya kepemilikan asing ke dalam utang pemerintah berdampak menurunnya resiko nilai tukar.
"Tahun 2017 resiko nilai tukar sebesar 41 persen, tahun 2019 turun ke level 37,9 persen, tahun 2020 kembali turun ke level 33,5 persen, dan tahun 2021 terus turun ke level 30 persen, serta tahun 2022 turun di bawah 29 persen," ucap Said.
Said menambahkan pemerintah telah membuat perencanaan tata kelola kebijakan utang pada rentang 2023-2026 dengan acuan; besaran utang tingkat bunga variabel terhadap total outstanding maksimal 20 persen.
Kemudian, utang jatuh tempo kurang dari 1 tahun terhadap total outstanding maksimal 12,5 persen, average time to maturity/ATM minimum 7 tahun, besaran pembayaran bunga utang terhadap PDB maksimal 3 persen, dan mematok tingkat utang terhadap PDB pada kisaran 40 persen.
"Mengacu pada batasan di atas, keseluruhan postur utang pemerintah belum menyentuh pada “alarm” dari berbagai indikator tersebut. Semisal ATM masih di level 8 tahunan, bunga utang terkelola dengan baik di kisaran 6-7 persen dengan jumlah bunga utang di level 2 persen PDB," imbuhnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.