Guru Besar UIN Jakarta: Kebebasan Beragama di Indonesia Diatur Undang-undang
Masykuri menunjukkan data bahwa faktanya mendirikan tempat ibadah geraja di Indonesia lebih mudah ketimbang mendirikan masjid di AS atau negara Eropa.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Masykuri Abdillah mengatakan kebebasan beragama di Indonesia memiliki aturan berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Menurut dia, undang-undang tersebut, tidak bertentangan dengan deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) dalam pasal 18 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM.
“Jika yang sering dipersoalkan oleh aktivis kebebasan beragama soal sulitnya perizinan tempat ibadah dari kelompok minoritas seperti tempat ibadah gereja, maka harus ada pembanding dengan negara lainnya,” ungkap Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.
Pernyataan itu disampaikan dalam seminar nasional berjudul “Batas-Batas Kebebasan Beragama dalam Pandangan Non-Barat: Respon pada Acara International Religious Freedom Summit 2023 di Amerika” di Aula Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim, Semarang-Jawa Tengah, pada Selasa, (31/1/2023).
Acara diselenggarakan oleh Center for Religious and Moderation Studies itu (CRMS), Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS) Semarang itu diisi olej Prof. Dr. Masykuri Abdillah (), Dr. Ahmad Syaefudin Zuhri (Direktur Sino Nusantara Institut), Dr. Iman Fadilah (Dekan Fakultas Agama Islam UNWAHAS Semarang), dan Dr. Tedi Kholiludin (Direktur Center for Religious Moderation Studies).
Masykuri menunjukan dan membandingkan data bahwa faktanya mendirikan tempat ibadah geraja di Indonesia lebih mudah ketimbang mendirikan masjid di Amerika dan negara-negara Eropa.
“Jumlah gereja di Indonesia itu terbesar ketiga di dunia,” ujar Masykuri.
Baca juga: Jokowi Tegur Kepala Daerah: Konstitusi Jamin Kebebasan Beragama dan Beribadah
Sementara itu, Iman Fadilah mengatakan Indonesia negara yang penduduknya mayoritas Muslim tidak memiliki persoalan dengan konsepsi kebebasan beragama yang dituangkan dalam undang-undang negara dan deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) dalam pasal 18 PBB tentang HAM.
“Dalam literasi Islam khususnya klasik, Islam juga senafas dengan konsep-konsep kebebasan beragama yang diakui internasional,” ujar Dekan Fakultas Agama Islam UNWAHAS Semarang.
Menurut pembicara lainnya, Dr. Tedi Kholiludin, tata letak perbedaanya secara konsepsi antara kebebasan beragama model Barat dengan non-Barat, khususnya Indonesia bahwa konsepsi keagamaan memasukan nilai-nilai agama dalam kebebasan beragama.
“Jadi model kebebasan beragama di Barat dikonsepsikan oleh paham sekuler di mana agama hanya berada di ruang privat dan dalam pandangan yang lebih esktrem, agama adalah musuh dari sekulerisme,” ujar Direktur Center for Religious Moderation Studies.
Kemudian pembicara lain, Dr. Ahmad Syaefudin Zuhri mengatakan kebebasan beragama oleh Amerika dan negara-negara Barat sering digunakan secara politik untuk menekan negara-negara lain, khususnya pemerintah China.
Zuhri menyarankan perayaan besar dalam International Religious Freedom Summit di Amerika yang digelar 31 Januari-2 Februari 2023 harus memberikan ruang konsepsi yang majemuk tentang kebebasan beragama.
“Jadi konsep kebebasan beragama masih menganut sistem unipolar yang dipaksa disamakan oleh pihak Amerika dan negara-negara Barat,” ujar Direktur Sino Nusantara Institut.