Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan Gugatan Pernikahan Beda Agama, Ini Pertimbangannya
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam Undang-undang (UU) Perkawinan.
Penulis: Rifqah
Editor: Daryono
Adapun, kata Enny mengenai pelaksanaan perkawinan oleh institusi negara adalah dalam rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, MK dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan bahwa dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling terikat erat.
“Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Hak Asasi Manusia (HAM)
Terhadap konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 tersebut, MK mempertimbangkan HAM yang merupakan hak yang diakui oleh Indonesia dan tertuang dalam konstitusi sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia.
Namun, HAM yang berlaku di Indonesia harus sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.
Enny menyebutkan bahwa jaminan perlindungan HAM secara universal sudah tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR).
"Meskipun sudah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan HAM di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial, dan budaya rakyat di negara masing-masing," kata Enny.
Berdasarkan pada rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, terdapat dua hak yang dijamin secara tegas yakni “hak membentuk keluarga” dan "hak melanjutkan keturunan”.
Baca juga: Komisi VIII DPR RI Dukung Putusan MK yang Menolak Gugatan Pernikahan Beda Agama
Adapun frasa berikutnya, kata Enny menunjukkan bahwa ‘perkawinan yang sah’ merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya. Artinya, perkawinan bukan diletakkan sebagai hak, melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.
Sehingga berdasarkan uraian tersebut, maka telah jelas bahwa dalam konteks perlindungan hak untuk menikah terdapat perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945.
Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi, maka tanpa mengesampingkan hak asasi yang bersifat universal dalam UDHR sudah seharusnya MK menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara.
“Meskipun Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 meletakkan perkawinan yang sah merupakan syarat untuk melindungi hak membentuk keluarga dan hak untuk melanjutkan keturunan, akan tetapi syarat tersebut bersifat wajib. Karena tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah."
"Dengan menggunakan kaidah hukum, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban hukumnya menjadi wajib (mâ lâ yatiimmu alwâjibu illâ bihî fahuwa wâjib), maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi,” ungkap Enny.
Baca juga: Tolak Legalkan Nikah Beda Agama, MK Tegaskan Tak menghalangi Kebebasan Memilih Kepercayaan