Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sidang Kasus Helikopter AW-101, Penasihat Hukum: JPU KPK Imajinatif!

tuntutan JPU KPK yang disampaikan dalam sidang sebelumnya, Senin (30/1/2023), yakni 15 tahun penjara bagi terdakwa, tanpa didukung bukti otentik

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Sidang Kasus Helikopter AW-101, Penasihat Hukum: JPU KPK Imajinatif!
Ist
Tim Penasihat Hukum Irfan Kurnia Saleh yang dipimpin Pahrozi SH (kanan) dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Djuyamto SH, Senin (6/2/2023). 

TRIBUNNEWS.COM,  JAKARTA - Narasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuding terdakwa dugaan korupsi Helikopter AW-101 di TNI Angkatan Udara (TNI)  tahun 2016, John Irfan Kenway alias Iwan Kurnia Saleh mengatur atau mengendalikan ULP (Unit Layanan Pengadaan) sehingga terdakwa menang lelang adalah narasi imajinatif yang menyesatkan.

"Narasi JPU KPK ini diperoleh dari imajinasi, bukan berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum," kata penasihat hukum Irfan, Pahrozi SH MH di sela sidang dengan agenda penyampaian pledoi atau pembelaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (6/2/2023). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Djuyamto SH. 

Karena, kata Pahrozi, cukup jelas menurut hukum "in casu" Pasal 1 angka 8 juncto Pasal 15 Peratura Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, menentukan yang berwenang memilih atau menentukan pihak penyedia barang dan jasa adalah ULP yang merupakan unit organisasi pemerintah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang.

"Karena itu bagaimana mungkin terdakwa selaku pihak swasta yang tidak memiliki kewenangan dalam memilih dan menetapkan pihak penyedia barang ini mengatur ULP?" tanya Pahrozi heran.

Ia menilai, tuntutan JPU KPK yang disampaikan dalam sidang sebelumnya, Senin (30/1/2023), yakni 15 tahun penjara bagi terdakwa, tanpa didukung bukti otentik yang sah.

"Maka tuntutan itu bentuk nyata kriminalisasi terhadap terdakwa. Oleh karena itu, dalam nota pembelaan (pledoi) ini, kami meminta kepada majelis hakim agar terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan, apalagi ternyata yang terbukti justru tedakwa telah melaksanakan kewajiban, yaitu telah menyerahkan barang hasil pengadaan berupa Helikopter AW-101 yang memenuhi spesifikasi dan telah diterima dengan baik oleh TNI AU, dan senyatanya tidak ada perbuatan terdakwa yang dapat dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," jelasnya. 

Fakta yang terbukti di persidangan, lanjut Pahrozi, adalah tidak ada kerugian negara, karena Helikopter sudah diterima negara, sudah menjadi barang milik negara (BMN), telah masuk dalam Laporan Keuangan (LK) Kementerian Pertahanan/TNI 2019 sebagai KDP (Konstruksi dalam Pengerjaan) sebesar Rp599,47 miliar dan dana yang dibatasi penggunaannya sebesar Rp139,43 miliar, dan saat ini Helkoperter AW 101 sedang dilakukan pemeliharaan dan perawatan oleh Kemhan RI," cetusnya. 

Berita Rekomendasi

"Selain itu, ternyata KPK arogan karena terhadap dana yang dibatasi penggunaannya sebesar Rp139,43 miliar yang saat ini berjumlah kurang lebih Rp153 miliar terbukti di persidangan telah disita oleh KPK. Padahal saat itu TNI AU telah menyurati KPK dengan menyatakan dana tersebut merupakan "uang negara' berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor 23 Tahun 2012 dan dana tersebut bukan uang hasil kejahatan. Tapi KPK tetap saja mengabaikan surat dari TNI AU tersebut, sehingga terkesan melecehkan TNI," lanjutnya.

JPU KPK, kata Pahrozi, juga berimajinasi menyatakan TNI AU patut kecewa terhadap Helikopter AW-101/646 Nomor Seri Produksi (MSN) 50248 yang ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi teknis dalam kontrak pengadaan.

"Hal ini sungguh sangat di luar kepatutan dan gegabah karena selain tidak punya hak, juga karena tidak ada bukti konkret yang mendukung pernyataan itu. Faktanya TNI AU telah menerima dan kemudian memperoleh anggaran 'return to service' untuk memperkuat TNI. Jika kecewa, tentunya helikopter tersebut akan ditelantarkan dan tidak digunakan.

Selain itu, JPU juga menggunakan 'asumsi liar' yang menyimpulkan pernyataan di persidangan saksi a de charge (meringankan) yang dihadirkan oleh terdakwa, yakni Marsma TNI (Purn) Sudjatmiko yang menyatakan, 'Marwah TNI AU telah dirusak oleh persidangan”, di mana JPU menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut merupakan 'kesimpulan yang dangkal', telah mencederai Sumpah Prajurit dan Sapta Marga TNI. Seharusnya JPU KPK memahmi pernyataan tersebut bahwa marwah TNI telah dirusak di persidangan bukanlah kesimpulan yang dangkal, namun merupakan kesimpulan yang tepat, mengingat TNI/TNI AU telah melaksanakan perintah negara sesuai UU Nomor 18 Tahun 2016 tentang APBN 2017 dan UU Nomor 8 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2016 tentang APBN 2017, yang menjadi dasar pengadaan alutsista Helikopter AW101 untuk TNI AU," terangnya. 

Baca juga: Sidang Dugaan Korupsi Helikopter AW-101, Penasihat Hukum Terdakwa Keberatan Tuntutan JPU

Lanjut Pahrozi, fakta lainnya di persidangan yang dikemukakan oleh saksi Marsma Sudjatmiko bahwa pernyataan Panglima TNI waktu itu, Gatot Nurmantyo, di KPK terkait adanya kerugian negara dalam pengadaan Helikopter AW-101 tidak didasarkan pada kegiatan investigasi/wasriksus (pengawasan dan pemeriksaan khusus) alias 'bodong'.

Artinya, hanya ada nomor surat namun tidak ada hasil pemeriksaannya, serta dilakukan pada saat kontrak masih berjalan. Justru hal ini merupakan fakta mengejutkan sebagai sebuah permufakatan jahat untuk mengkriminalisasi terdakwa serta prajurit dan institusi TNI AU. Maka secara tidak langsung menggambarkan bahwa oknum KPK dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo ingin coba-coba tidak memperdulikan hukum yang berlaku. 

"Namun setelah dilakukan penghentian penyidikan oleh Papera (Perwira Penyerah Perkara) TNI AU, ternyata KPK dengan ego sektoralnya tetap melakukan proses hukum terdadap terdakwa dan artinya pula KPK sedang merendahkan marwah dan martabat TNI yang merupakan salah satu institusi penting dalam kerangka NKRI karena tidak mengindahkan penghentian penyidikan oleh Papera tersebut.

"Atas kenyataan tersebut maka timbul kecurigaan kami bahwa KPK dalam memproses kasus pengadaan Helikopter AW-101 tidak bekerja secara profesional, jujur dan adil. KPK bekerja tidak lain karena ada suatu pesanan dari pihak-pihak tertentu. Kami memang tidak dapat menunjuk pihak-pihak tertentu yang mengendalikan KPK tersebut, tetapi kami merasakan hal itu sebagaimana fakta-fakta hukum yang diuraikan di atas," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas