Punya Wewenang Adili Kejahatan Internasional Tak Akan Membuat Kedaulatan Indonesia Terancam
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno terkait Uji Materiil Pasal 5 UU Pengadilan HAM terkait Pelanggaran HAM Berat di Myanmar.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Wahyu Aji
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno terkait Uji Materiil Pasal 5 UU Pengadilan HAM terkait Pelanggaran HAM Berat di Myanmar, Rabu (8/2/2023).
Perkara yang terdaftar dalam No. 89/PUU-XX/2022 ini meminta MK memperluas kewenangan pengadilan HAM di Indonesia.
Ahli dari pemohon Dr. Cheah Wui Ling yang merupakan Associate Professor dari National University of Singapore (NUS) menyampaikan sejumlah pandangan dalam persidangan tersebut.
Satu dari beberapa anggapannya ialah kedaulatan nasional tak akan terganggu meski nantinya Indonesia menerapkan yuridiksi universal.
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum).
Yuridiksi universal memungkinkan setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional.
“Pelaksanaan yurisdiksi universal itu dalam pandangan saya tidak akan mengancam kedaulatan nasional atau kedaulatan negara dari sebuah negara seperti Indonesia,” kata Cheah Wui Ling saat ditemui seleps persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (8/2/2023).
“Karena itu diatur oleh hukum internasional. Dan itu hanya bisa berlaku untuk kejahatan yang sangat sempit kategorinya,” lanjut dia.
Di sisi lain, kata dia, negara-negara di ASEAN telah mengambil sikap sangat hati-hati ketika sidang komite kenaam di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ia menilai bahwa negara-negara di ASEAN harus menyadari bahwa mereka memiliki hak di bawah hukum internasional.
Sehingga negara-negara ASEAN pun memiliki wewenang jntuk melaksanakan yurisdiksi universal sesuai dengan ketentuan hukum internasional itu sendiri.
“Negara-negara di ASEAN harus berperan aktif dan terlibat di dalam pelaksanaan yurisdiksi universal. Jangan sampai hanya menunggu dari negara-negara lain dalam melaksanakan yurisdiksi universal,” kata dia.
Baca juga: Kemlu Enggan Beri Bocoran Soal Sosok Jenderal yang Akan Dikirim ke Myanmar
“Dan ini penting bukan hanya untuk masing-masing negara ASEAN maupun keseluruhan negara-negara asean,” lanjut Cheah.
Ia menjelaskan bahwa yurisdiksi universal berkaitan dengan kejahatan spesifik yang sangat serius di bawah hukim internasional. Sehingga hal ini menjadi penting agar tak ada pihak yang bisa lolos dari jeratan hukum.
“Dan semua negara-negara ASEAN itu sebenarnya mengakui merekognisi validitas dari legitimasi dari pelaksanaan yurisdiksi universal ini,” tuturnya.
Dampak Bagi Indonesia jika Terapkan Yurisdiksi Universal
Lebih jauh Cheah menilai Indonesia akan memiliki peran penting jika nantinya menerapkan sisten yurisdiksi internasional.
Sebab, kata dia, hal ini memungkinkan Indonesia mengadili pelaku kejahatan meski perbuatannya bukan dilakukan di Nusantara dan bukan oleh WNI.
“Itu akan menunjukan komitmen besar dari pemerintah Indonesia untuk mendukung agenda-agenda keadilan secara internasional,” katanya.
“Dan Indonesia ga bisa dong menjadi surga bagi para pelaku kejahatan yang sangat serius ini,” sambung Cheah.
Ia pun berharap pemaparannya pada saat persidangan dapat menjadi pertimbangan hakim konstitusi MK untuk mengabulkan pemohon.
Sehinnga pemerintah Indonesia dapat menyatakan bahwa Pasal 5 UU Pengadilan HAM inkonstitusional,
Sebab Pasal tersebut dinilai bertentangan atau tidak sesuai dengan prinsip HAM sebagaimana diatur Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945.
“Sehingga bukan hanya berlaku bagi, sehingga UU Pengadilan HAM bisa memberlakukan yurisdiksinya bukan hanya terhadap WNI yang melakukan pelanggaran ham berat, tetapi juga terhadap warga negara asing yang melakukan pelanggaran HAM berat di mana pun,” paparnya.
“Jadi tidak lagi dibedakan berdasarkan kewarganegaraan nasionalitas dan tidak lagi dibedakan berdasarkan lokasi peristiwa kejahatan itu,” imbuh Cheah.
Awal Mula Permohonan Uji Materiil Pasal 5 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menerima pendaftaran permohonan uji materiil Pasal 5 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM), Rabu (7/9/2022)
Permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Baca juga: Soal Nama Jenderal yang Akan Dikirim ke Myanmar, Kemenlu: Stay Tune!
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan adanya pembatasan pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka sulit bagi para korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya.
Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma.
Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM.
Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
“Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945,” pinta Feri Amsari selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Senin (26/09/2022).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.