Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

Majelis Hakim: Rencana Pembunuhan Brigadir J Dilakukan Ferdy Sambo Secara Rapi dan Sistematis

Dengan adanya fakta tersebut, Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso meyakini kalau perbuatan Ferdy Sambo memang sudah direncanakan dan dipikirkan.

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Majelis Hakim: Rencana Pembunuhan Brigadir J Dilakukan Ferdy Sambo Secara Rapi dan Sistematis
Tribunnews/JEPRIMA
Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo menjalani sidang di ruang sidang PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (13/2/2023). Sidang kali ini dengan agenda pembacaan vonis oleh majelis hakim. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyatakan, rencana pembunuhan yang dilakukan Ferdy Sambo terhadap Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J telah dipikirkan secara rapih dan sistematis.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan terhadap terdakwa Ferdy Sambo.

Dalam keterangannya, majelis hakim menyatakan, pemikiran yang rapih itu diawali dengan upaya Ferdy Sambo mengisi amunisi peluru milik Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.

"Menimbang bahwa kemudian terdakwa mengambil kotak peluru dan memberikan satu kotak peluru kepada saksi Richard karena senjata Richard pada saat itu masih ada 7 amunisi peluru," kata Hakim Wahyu dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).

Lebih lanjut, Ferdy Sambo juga kata majelis hakim memerintahkan kepada Bharada E untuk mengambil senjata HS milik morban Nofriansyah Yoshua Hutabarat dalam dashboard mobil LM.

Keterangan itu juga dibenarkan oleh Ferdy Sambo yang menurut majelis hakim menjadi salah satu upaya dari mantan Kadiv Propam Polri itu untuk menanamkan keyakinan untuk membunuh Brigadir J.

Berita Rekomendasi

"Sehingga tidak ada keraguan bagi saksi Richard Eliezer Pudihang Lumiu untuk tidak melaksanakan perintah Terdakwa," kata Hakim Wahyu.

Dengan adanya fakta tersebut, Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso meyakini kalau perbuatan Ferdy Sambo memang sudah direncanakan dan dipikirkan.

Bahkan, Ferdy Sambo disebut telah memikirkan rencana pembunuhan Brigadir J dengan rapih dan sistematis.

Baca juga: Majelis Hakim: Ferdy Sambo Penuhi Unsur Rencanakan Kematian Brigadir J

"Menimbang bahwa terlebih lagi saat Terdakwa menyuruh saksi Richard untuk menambahkan peluru dalam senjatanya serta mengambil senjata HS milik korban kepada terdakwa. Hal ini diartikan bahwa terdakwa telah memikirkan segala sesuatunya yang sangat rapih dan sistematis," tukas Hakim Wahyu.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyatakan bahwa Ferdy Sambo melakukan penembakan kepada Nofriansyah Yoshua Hutabarat di Duren Tiga.

Hal itu diungkapkan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan saat membacakan analisa fakta terhadap vonis Ferdy Sambo, dalam sidang, Senin (13/2/2023).

"Menimbang bahwa berdasarkan keterangan terdakwa dan saksi Richard Eliezer, Samuel, Romer, saksi ahli Fira, Farah dan Sumirat. Berdasarkan yang hal yang telah diuraikan Majelis Hakim memperoleh keyakinan yang cukup bahwa terdakwa telah melakukan penembakan kepada Yoshua Nofriansyah Hutabarat dengan senjata api jenis glock yang waktu itu digunakan sarung tangan berwarna hitam," kata Majelis Hakim di persidangan.

Majelis hakim melanjutkan menimbang bahwa bantahan terdakwa mengenai istrinya Putri Candrawathi tidak ikut menemui Richard Eliezer berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan.

"Istri terdakwa Putri Candrawathi tak lama bersama dengan saksi Ricky Rizal Wibowo, Kuat Maruuf dan Richard Eliezer dan korban Joshua menuku rumah Duren Tiga 46. Untuk melakukan isolasi mandiri seperti apa yang diterangkan oleh saksi Daden dan Romer," kata Majelis Hakim.

Kemudian Majelis Hakim mengungkapkan menimbang bahwa jika benar Putri Candrawathi akan melakukan isolasi mandiri karena protokol kesehatan dan adanya balita di dalam rumah.

"Menjadi pertanyaan mengapa saksi Susi tidak sekalian bersama padahal saudara mengetahui saudara Susi ikut perjalanan ke Magelang," tegas majelis hakim.

Sebagai informasi, dalam perkara ini jaksa penuntut umum (JPU) telah menuntut seluruh terdakwa.

Mantan Kadiv Propam Polri sekaligus otak dari rencana pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup. Sementara sang istri yakni Putri Candrawathi dituntut pidana 8 tahun penjara.

Kepada Ferdy Sambo, jaksa tidak menemukan adanya hal yang meringankan serta tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf dalam diri mantan Kadiv Propam Polri itu.

"Bahwa dalam persidangan pada diri terdakwa Ferdy Sambo tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghapus sifat melawan hukum serta kesalahan Terdakwa Ferdy Sambo," kata jaksa dalam tuntutannya yang dibacakan pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2023).

Atas hal itu, terdakwa Ferdy Sambo harus diwajibkan menjalani pertanggungjawaban pidananya atas kasus tersebut.

Sehingga menurut jaksa, tidak ada dasar dari penuntut umum untuk membebaskan Ferdy Sambo dari jerat hukum.

"Bahwa Terdakwa Ferdy Sambo tersebut dalam kesehatan jasmani dan rohani serta tidak diketemukan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf yang membebaskan dari segala tuntutan hukum atas perbuatannya sebagaimana pasal 44 sampai 51 KUHP maka terhadap Terdakwa Ferdy Sambo SH, S.iK MH harus lah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya," tukas jaksa.

Sementara kepada terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, jaksa menuntut pidana 12 tahun penjara.

Selanjutnya untuk kedua terdakwa lainnya yakni Bripka RR dan Kuat Ma'ruf sama-sama dituntut delapan tahun penjara.

Jaksa menyatakan, seluruh terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama yang membuat nyawa seseorang meninggal dunia sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Tuntutan-tuntutan itu kemudian disanggah oleh para terdakwa melalui sidang agenda pembacaan pleidoi.

Secara umum, pleidoi para terdakwa memuat bantahan-bantahan atas kesimpulan JPU yang tertuang di dalam materi tuntutan.

Mereka juga memohon agar Majelis Hakim membebaskannya dari tuntutan.

Terkait pleidoi itu, jaksa juga melayangkan bantahan dalam replik.

Secara garis besar, jaksa menolak pleidoi para terdakwa karena dianggap tidak memiliki dasar yuridis yang kuat.

"Uraian pledoi tersebut tidaklah memiliki dasar yuridis yang kuat yang dapat digunakan untuk menggugurkan surat tuntutan tim penuntut umum," kata jaksa dalam persidangan pada Jumat (27/1/2023).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas