Akademisi: Politik Keummatan Diartikan Secara Sempit oleh Sebagian Kalangan di Indonesia.
Ia menjelaskan banyak kata Indonesia yang mengalami penyempitan makna, salah satunya makna dari kata 'umat'.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Daryono
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politik keumatan diartikan secara sempit oleh sebagian kalangan di Indonesia, kata seorang akademisi yang juga peneliti senior dan ilmuwan politik, Prof. Siti Zuhro.
Ia menjelaskan banyak kata Indonesia yang mengalami penyempitan makna, salah satunya makna dari kata 'umat'.
Padahal, kata 'umat' berasal dari dari Bahasa Arab yang memiliki arti masyarakat atau bangsa.
"Penyempitan makna, jadi (umat) artinya hanya seputar pengikut agama. Ada banyak kata Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab yang mengalami penyempitan makna, ini masalahnya," kata Prof Siti pada talkshow yang diselenggarakan Gelora TV yang bertajuk 'Menakar Arah Politik Keummatan', Rabu (16/2/2023).
Baca juga: Partai Gelora Bakal Gelar Konsolidasi Kader dan Launching Tagline Indonesia Superpower Baru
Partai Gelora sebagai partai baru yang akan mengikuti Pemilu 2024, oleh publik dipandang sebagai saudara kembarnya PKS, meskipun secara tertulis Partai Gelora berideologi Pancasila.
Terkait 'Politik keumatan', Siti menjelaskan mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam. Sekira 86,7 persen dari total keseluruhan penduduk Indonesia beragama Islam.
Dalam perpolitikan, kalimat 'Politik Keumatan' diartikan secara sempit sebagai politiknya kaum santri dalam partai politik (Parpol) Islam.
Sedangkan partai politik nasionalis yang juga digawangi orang Islam tidak dianggap sebagai bagian dari politik keummatan, karena mereka dianggap sebagai kelompok Islam pinggiran atau 'abangan'.
"Fakta sosial justru mayoritas umat Islam Indonesia adalah kelompok abangan dan tidak terdidik di pesantren atau madrasah," ujar Siti.
Adanya dikotomi santri abangan bermula sejak awal kemerdekaan.
Politik keummatan umat Islam terbelah kedalam kelompok nasionalis dan kelompok Islamis (berideologi Islam).
Kelompok nasionalis disebut juga politik garam, lalu yang berideologi Islam sering dikatakan sebagai politik gincu.
"Yang unik dalam perspektif umat, yang dimaksud dalam Parpol Islam, bukan saja yang jelas-jelas berazaskan Islam, tapi juga Parpol yang meskipun tidak berasaskan Islam, tetapi didirikan oleh tokoh Islam, seperti PAN atau yang berafiliasi dengan Ormas Islam seperti PKB," ujarnya.
Baca juga: Dukung Anies, Partai Ummat akan Bicara ke NasDem, Demokrat, dan PKS
Sejak Pemilu pertama, kekuatan partai Islam selalu kalah. Contohnya pada Pemilu tahun 1995, suara partai Islam hanya 43,7%.
Pada tahun 1995 persentasenya turun menjadi 34,2%. Pada Pemilu 2019, makin menurun menjadi 29,26%.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam cenderung lebih menggandrungi politik nasionalis ketimbang politik Islamis.
Siti Zuhro mengatakan umat Islam di Indonesia terbiasa hidup majemuk, yang menganggap agama sebagai urusan pribadi.
Kehadiran Parpol Islam dengan wacana negara Islam telah membuat tajamnya dikotomi santri abangan.
Sehingga kehadiran Parpol Islam dengan wacana negara Islam ternyata lebih banyak gagalnya.
"Kegagalan Parpol Islam selama ini antara lain disebabkan karena Parpol Islam gagal menjadikan dirinya sebagai rumah orang Islam dan cenderung menjadi rumah politik kaum santri atau eksklusif," ujar Siti.
"Padahal jumlah kaum abangan yang mayoritas kaum cilik, jauh lebih besar, karena secara statistik 2/3 umat Islam Indonesia buta huruf Qur'an dan rata-rata pendidikan mereka baru kelas 3 SMP," lanjutnya.(*)