Anggota Komisi I DPR: Konten Negatif di Media Sosial Mengancam Nilai Kemanusiaan Bagi Generasi Muda
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) menyelenggarakan webinar.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) menyelenggarakan webinar "Ngobrol Bareng Legislator" yang bertema “Produksi Konten Positif yang Viral”.
Acara ini menghadirkan empat narasumber yaitu Dirjen Aptika Kominfo RI Samuel Abrijani sebagai, Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin, Hijab Influencer Aliah Lestari Sayuti dan Dudi Sugandi sebagai Visual Narator.
Webinar ini memaparkan terkait peran krusial dan kontribusi pengguna, khususnya generasi muda, dalam bijaksana memproduksi konten dengan emosi positif pada media sosial.
Dewasa ini istilah viral menjadi salah satu hal yang selalu dikaitkan dengan konten-konten yang ada di media sosial. Konten-konten yang menjadi viral ini seringkali memiliki daya tarik tertentu yang membuat pengguna media sosial tertarik untuk membagikan ulang (re-share/re-post) konten tersebut.
Cohen (2014) menyebutkan bahwa istilah viral sharing merujuk pada penyebaran konten dari satu orang ke orang lain melalui jejaring sosial yangmereka miliki, dan biasanya merujuk pada jejaring sosial yang di internet atau mobiletechnologies.
“Berbicara mengenai konten viral sangat menarik, karena terkadang yang tidak berniatviral malah akan jadi viral, yang direncanakan viral tidak menjadi viral. Namun sama dengan bu Nurul, yang pasti terdapat variatif emosi yang terkandung dalam suatu konten yang dapat viral," kata Aliah Lestari Sayuti, dikutip Minggu (19/2/2023).
Viralitas suatu konten di media sosial dapat juga dipengaruhi oleh peran seorang influencer atau buzzer di media sosial. Peran seorang buzzer atau influencer dalam viralitas suatu konten adalah pada penyebaran konten kepada khalayak luas, atau pada media sosial seringdisebut juga dengan peningkatan jangkauan konten (reach).
"Jenis konten yang bisa viral bervariasi. Intinya, konten yang dibuat harus menghibur, memberikan edukasi, menyampaikan informasi, dan membuka inspirasi baru. Bagi saya, untuk membuat konten viral tidak terlalu susah. Kalau buat konten yang viral buatlah konten dan konteks yang sesuai dengan kondisi paling aktual dan membangkitkan emosi,” tutur Dudi Sugandi.
Hasil studi yang dilakukan oleh Dobele et al (2007) menunjukkan bahwa suatu pesan atau konten yang viral harus memiliki element of surprise, selain itu pesan yang viral tersebut perlu memiliki emosi yang ada di dalamnya.
Berger dan Milkman (2018), dalam studinya, menyebutkan bahwa konten dengan emosi positif mendapatkan nilai viralitas yang lebih tinggi dibandingkan konten dengan emosi negatif.
Namun, tidak semua emosi yang negatif memiliki viralitas yang lebih rendah, tidak sedikit konten dengan emosi negatif lebih mendominasi pada beberapa masyarakat.
Baca juga: Menkominfo Sebut Penyiapan SDM Andal dan Berdaya Saing Jadi Kunci Transformasi Digital Nasional
“Dampak dari konten negatif adalah mampu mengurangi nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan yang ada di masyarakat. Sebagai contoh konten negatif adalah fenomena mengemis online, Fajar Sadboy vs Nono Siswa Juara Matematika, dan lainnya. Apabila konten negatif terus menjalar, generasi muda masa depan akan terancam dengan krisis nilai kemanusiaan," tutur Nurul.
Pada akhirnya disaat kita tidak bisa menolak kecanggihan dan inovasi digital, maka kita sendirilah sebagai pengguna yang butuh bijaksana dan berkontribusi agar produk-produk pada media sosial lebih condong menyebarluaskan emosi positif.