Jadi Orang yang Pertama Kali Jujur ke Pimpinan Polri, Irfan Widyanto Berharap Divonis Bebas
Terdakwa kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J, AKP Irfan Widyanto berharap mendapat vonis bebas.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J, AKP Irfan Widyanto bakal menjalani sidang putusan atau pembacaan vonis pada Jumat (24/2/2023).
Kuasa Hukum Irfan Widyanto, Riphat Senikentara berharap kliennya dapat divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Pendapat kami, mengacu pada fakta persidangan, seharusnya klien kami mendapatkan vonis bebas," ujar Riphat kepada wartawan, Senin (20/2/2023).
Riphat menuturkan, ada sejumlah hal yang bisa menjadi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengenai alasan kliennya bisa dapat divonis bebas.
Pertama, kata Riphat, fakta persidangan sudah jelas bahwa Irfan Widyanto mendapatkan perintah untuk mengganti DVR CCTV di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
"Fakta persidangan sudah terlihat dengan jelas bahwa Irfan ini dapat perintah untuk mengganti DVR CCTV dan berkoordinasi untuk menyerahkan ke penyidik Polres Jakarta Selatan dalam rangka pengumpulan barang bukti, perlu diingat bahwa ini atas persetujuan Kasat Reskrim Polres Jaksel," jelas Riphat.
Baca juga: Eks Spri Ferdy Sambo Minta Divonis Bebas dari Kasus Obstruction of Justice Pembunuhan Brigadir J
Riphat menuturkan bahwa Irfan Widyanto juga tidak tahu menahu seusai DVR CCTV tersebut diberikan kepada Polres Jakarta Selatan.
Dia pun tidak mengetahui bahwa DVR CCTV itu ternyata diserahkan kepada Chuck Putranto atas perintah Ferdy Sambo.
"Irfan tidak ada tau apa-apa setelah DVR CCTV itu diserahkan ke Polres Jaksel. Ternyata tanpa sepengetahuan Irfan, oleh Polres Jaksel DVR CCTV yang bisa dijadikan barang bukti tersebut, dikeluarkan dan diserahkan ke orang lain, atas perintah FS," jelas Riphat.
Lebih lanjut, Riphat menambahkan bahwa kliennya pun tidak tahu menahu mengenai isi rekaman di dalam DVR CCTV tersebut.
Baca juga: Kejaksaan dan Ferdy Sambo Cs Banding, ini Pesan Mahfud MD dan Ibunda Brigadir J
Adapun tugasnya hanya mengamankan CCTV itu untuk alat bukti kepada Polres Jakarta Selatan.
"Setelah tanggal 9 Juli itu, irfan tidak tau apa-apa, isi dari rekamannya saja tidak tau. Tidak ada baik komunikasi maupun rencana apapun yang Irfan ketahui terkait DVR CCTV tersebut," ungkap Riphat.
"Ini kan sama aja seperti saya memerintahkan karyawan saya beli pisau, pisaunya saya pakai untuk nusuk orang. Ya karyawan saya kan tidak tau apa-apa, masa mau dihukum," sambungnya.
Baca juga: Keluarga Brigadir J Kembali Berhadapan dengan Ferdy Sambo Cs, Kali ini Soal Uang Ratusan Juta
Riphat menambahkan alasan lainnya adalah AKP Irfan Widyanto merupakan orang pertama yang membuka fakta soal CCTV di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo kepada pimpinan Polri.
Irfan membuka fakta soal DVR CCTV itu kepada pimpinan Polri pada 21 Juli 2022 lalu.
Hal itu dilakukannya 3 hari setelah pengacara keluarga Brigadir J membuat laporan polisi (LP) terkait pembunuhan berencana.
"Bahwa Irfan ini yang pertama kali jujur menyampaikan kepada pimpinan Polri loh, kalau tidak salah Eliezer mulai jujur dan membuka fakta yang sebenarnya itu 8 Agustus 2022, sedangkan Irfan sudah menyampaikan fakta yang sebenarnya kepada pimpinan polri sejak 21 Juli 2022," jelasnya.
Dalam kasus ini, Irfan Widyanto memang sempat dipanggil oleh pimpinan Polri.
Dalam pertemuan itu, Irfan membocorkan siapa yang memerintahkannya untuk mengambil DVR CCTV.
Menurut Riphat, kejujuran kliennya seharusnya juga dihargai seperti Bharada E.
Sebab, Irfan Widyanto mengutarakan terlebih dahulu kejujurannya kepada pimpinan Polri.
"Jadi kalau bicara kejujuran, artinya Irfan yang lebih jujur, sebelum ada tekanan apapun, Irfan sudah langsung menyampaikan apa adanya pada pimpinan Polri. Baik Eliezer dan Irfan, dua-duanya belum ada yang di sidang kode etik. Saya rasa ini bentuk objektifitas institusi Polri ya, menunggu kepastian hukum secara pidana, sebelum memutuskan nasib anggotanya dalam sidang kode etik profesi," katanya.
Sebagaimana diketahui enam terdakwa kasus obstruction of justice kematian Brigadir J sudah dijatuhi tuntutan oleh jaksa penuntut umum.
Pekan ini keenam terdakwa akan menjalani sidang vonis.
Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria akan menghadapi vonis perkara ini pada Kamis (23/2/2023) bersama terdakwa lainnya, yaitu Arif Rachman Arifin.
Sementara vonis Irfan Widyanto akan dibacakan pada Jumat (24/2/2023) bersama dua terdakwa lain, yaitu Baiquni Wibowo dan Chuck Putranto.
Dalam perkara ini para terdakwa telah dituntut hukuman penjara dengan durasi yang berbeda.
Untuk Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria memperoleh tuntutan tertinggi dari yang lainnya, yaitu tiga tahun penjara.
Kemudian Chuck Putranto dan Baiquni Wibowo dituntut dua tahun penjara.
Sementara Arif Rachman Arifin dan Irfan Widyanto telah dituntut dengan pidana penjara terendah di antara para terdakwa obstruction of justice yaitu satu tahun penjara.
Tuntutan penjara itu belum termasuk pengurangan masa penahanan yang telah dijalani mereka sebagai tersangka.
"Menjatuhkan kepada terdakwa dengan pidana penjara dikurangi masa tahanan dan perintah agar tetap ditahan," kata jaksa penuntut umum dalam persidangan Jumat (27/1/2023).
Tuntutan itu pun telah dibantah oleh masing-masing terdakwa, baik melalui pleidoi pribadi maupun tim penasihat hukumnya.
Kemudian atas pleidoi tersebut, tim jaksa penuntut umum (JPU) melayangka replik yang pada intiya mempertahankan tuntutan mereka.
Selanjutnya replik tim JPU dibalas dengan duplik yang juga menjadi upaya terakhir para terdakwa sebelum menghadapi vonis.
Dalam perkara ini, para terdakwa dijerat Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
Dalam kasus ini, para pelaku pembunuhan Brigadir J sudah dijatuhi vonis.
Ferdy Sambo dijatuhi hukuman pidana mati.
Kemudian, istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi divonis pidana penjara 20 tahun.
Untuk Kuat Maruf, divonis pidana 15 tahun penjara, Ricky Rizal 13 tahun penjara, dan Richard Eliezer alias Bharada E divonis 1,5 tahun penjara.