Bedah Fikih Peradaban, Agama untuk Perdamaian dan Kemaslahatan Dunia
Ngasiman Djoyonegoro mengatakan, diskusi merupakan forum ilmiah dan ruang bertukar pikiran anak bangsa demi menemukan solusi untuk kemajuan bangsa
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gerakan Indonesia Optimis (GIO) bersama Pengurus Besar Majelis Dzikir Hubbul Wathon (PB MDHW), dan Center of Intellegence and Strategic Studies (CISS) kembali menyelenggarakan program Deep Talk Indonesia mengangkat tema "Membedah Rekomendasi Muktamar Internasional Fiqh Peradaban, Islam Untuk Kemaslahatan Dunia," Selasa (7/3/2023).
Muktamar Internasional Fiqh Peradaban merupakan forum permusyawaratan pemuka agama dari berbagai belahan dunia yang diinisiasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan menjadi agenda rangkaian peringatan 1 Abad Nahdlatul Ulama'.
Muktamar internasional fiqh peradaban yang diadakan di Surabaya, Jawa Timur pada Senin (6/2/2023), mendiskusikan bagaimana menformulasikan teks agama khususnya fikih dalam konteks sosial dan kemanusiaan dalam kehidupan global saat ini.
Baca juga: Buka Muktamar, Wapres RI: Ilmu Fikih Harus Mampu Menyesuaikan Perkembangan Zaman
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini antara lain, Ketua LBM PBNU KH. Mahbub Ma'afi, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Phil. Asep Saefudin Jahar, Guru Besar Sosiologi UIN Jakarta Prof. Dr. Dzuriyatun Thoyibah.
Ngasiman Djoyonegoro, Ketua Umum GIO mengatakan, diskusi merupakan forum ilmiah dan ruang bertukar pikiran anak bangsa demi menemukan solusi untuk kemajuan bangsa dan negara.
Dengan berdiskusi akan menambah ilmu dan pengetahuan bersama sehingga Optimisme generasi muda akan terus terjaga.
Ahyad Alfida'i, Sekjen PB MDHW berharap kolaborasi ini akan terus terjaga dan menghadirkan forum-forum diskusi dan kegiatan yang semakin luas.
“Melalui rekomendasi muktamar internasional fiqh peradaban yang diinisiasi oleh Nahdlatul Ulama', semoga Islam rahmatan lil 'alamin berhasil menjadi poros perdamaiaan dunia," ujarnya.
KH. Mahbub Ma'afi memaparkan, mengacu pada rekomendasi Fikih Peradaban, ada pengakuan bahwa relasi Muslim dengan non-muslim itu ada sebuah konflik, namun bagaimana peradaban bisa memanajemen konflik tersebut dan melahirkan sebuah perdamaian. Karena peradaban tidak ada kemajuan tanpa perdamaian.
“Pengakuan dalam rekomendasi fikih peradaban merupakan manifestasi dari sikap keterbukaan dan kejujuran. Selain itu, dapat diasumsikan bahwa NU melalui rekomendasi mengajak seluruh bangsa untuk berdamai,” kata Mahbub.
Baca juga: Ketua MUI KH Asrorun Niam Sholeh Dianugerahi Gelar Profesor Ilmu Fikih UIN Jakarta
Sementara, Prof. Asep Saefudin Jahar menyampaikan, formulasi fikih peradaban ini menjadi magnum opus NU di paruh abad kedua dalam merespon perubahan dunia.
Prof Asep mengingatkan, sebagai muslim, kita jangan sampai gagal dalam memahami konteks kemajuan zaman. Prof Asep menambahkan, nilai-nilai keseteraan, keadilan, kedamaian, dan hidup toleran menjadi hal paling penting. Dalam hal ini, PBB dikatakan berhasil menerjemahkan proses perdamaian internasional melalui perjanjian internasional untuk menghilangkan otoritarianisme. Meskipun tidak semuanya berhasil maksimal.
“Kemajuan peradaban muslim ditandai dengan tidak adanya lagi pengelompokkan antar umat beragama,” ujarnya.
Pada diskusi ini Prof. Dzuriyatun Toyibah menyampaikan pandangannya dalam perspektif keilmuan sosiologi yang terkorelasi dengan praktik muslim dalam berperilaku toleran dan menjunjung tinggi persatuan.
“Dengan semakin berkembangnya Islam, seorang Muslim akan semakin toleran kepada sesama manusia,” katanya.
Diskusi membedah hasil muktamar fiqh internasional NU yang dihadiri ratusan peserta dari kalangan kyai, akademisi, mahasiswa dan pegiat sosial ini ditutup dengan do'a yang dipimpin oleh Ustad Abdul Rozak (Wakil Ketua PB MDHW) untuk Indonesia yang lebih gemilang dan menciptakan generasi optimis dalam menjawab setiap tantangan zaman.