Komnas Perempuan Desak Integrasi Perspektif Gender dalam Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya 3.442 kasus kekerasan berbasis gender
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya 3.442 kasus kekerasan berbasis gender yang dilaporkan sepanjang tahun 2022.
Pelaporan itu mencakup kekerasan terakait konflik SDA, intoleransi, kriminalisasi, dan penyelesaian tertunda pelanggaran HAM masa lalu.
Khusus yang terait pelanggaran HAM, Komnas Perempuan melihat hal itu terjadi di ranah personal, komunitas, dan negara yang terjadi pada situasi konflik, mulai dari fisik, psikis, sampai seksual.
"Dan terjadi langsung saat mencari keluarga yang hilang," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini dalam acara MoU Komnas Perempuan dan KKR Aceh tentang Perlindungan dan Pemulihan bagi Perempuan Korban Pelanggaran HAM pada Masa Konflik Bersenjata di Aceh dalam Proses Pengungkapan Kebenaran dan Rekonsiliasi pada Kamis (9/3/2023).
Kemudian perempuan juga cenderung mengalami diskriminasi karena identitas berlapis yang memungkinkan akses berbeda pada bantuan, seperti soal usia, status perkawinan, asal daerah, suku, agama, dan lain sebagainya.
"Situasi perempuan pada konflik itu juga sebenarnya dapat berakibat pada pemiskinan, kehilangan akses dan sumber kehidupan, tidak dapat kembali ke daerah asal, kehilangan informasi terkait keluarga yg hilang, dan disabilitas pekerja," kata Theresia.
Mengingat dampak-dampak tersebut, Komnas Perempuan mendesak agar negara segera mengintegrasikan perspektif gender dalam penanganan pelanggaran HAM masa lalu.
"Negara penting mengakui adanya kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual dalam konflik masa lalu," ujarnya
Selain itu, negara juga perlu mengakui jenis-jenis kerugian tertentu bagi korban. Termasuk di antaranya kerusakan psikologis dan stigma sosial, "Serta gangguan kehidupan pada korban dan keluarga."
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Jokowi mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (11/1/2023).
“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya.
Dia pun sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut.
Baca juga: Catatan Komnas Perempuan Satu Tahun Terakhir, 72 Perempuan Disabilitas Alami Kekerasan
Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat diantaranya yakni:
1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.