7 Rekomendasi Komnas HAM untuk Polri, LPSK & Pelaku Industri Farmasi terkait Kasus Gagal Ginjal Akut
Komnas HAM merekomendasikan agar Polri melakukan penegakan hukum secara adil, objektif, transparan, cepat dan terukur untuk memas
Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM RI mengumumkan hasil proses pemantauan dan penyelidikan terhadap kasus gagal ginjal akut atau Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) di Indonesia yang telah menelan korban ratusan anak.
Setidaknya total ada tujuh rekomendasi Komnas HAM RI bagi Polri, LPSK, dan pelaku industri farmasi yang disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Saurlin P Siagian.
Baca juga: Gangguan Ginjal Berisiko Alami Kematian, Ketahui Kelompok yang Berisiko dan Gejalanya
Untuk Polri, kata Saurlin, Komnas HAM merekomendasikan agar melakukan penegakan hukum secara adil, objektif, transparan, cepat dan terukur untuk memastikan terwujudnya kepastian hukum dan pemenuhan hak atas keadilan bagi seluruh pihak terutama korban.
Hal tersebut disampaikannya saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Sabtu (11/3/2023).
"Kedua, mengingat keseluruhan korban dalam perkara tersebut adalah anak dan produk obat yang spesifik ditujukan kepada konsumen anak, maka penegak hukum perlu mempertimbangkan penerapan pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak dalam perkara tersebut," kata dia.
Sedangkan bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kata dia, dalam rangka penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum, maka Komnas HAM RI meminta kepada LPSK untuk memberikan perlindungan bagi korban ataubkeluarga korban dalam rangka menjamin pemberian restitusi dan kompensasi melalui mekanisme peradilan.
Baca juga: Kesimpulan Komnas HAM RI: 8 Hak Asasi Manusia Dilanggar Dalam Kasus Gagal Ginjal Akut
Untuk pelaku industri farmasi, kata Saurlin, Komnas HAM RI merekomendasikan agar mematuhi seluruh ketentuan dalam produksi dan distribusi obat sesuai dengan Farmakope Indonesia dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
Kedua, memastikan seluruh produk obat terjamin keamanan, mutu, dan khasiatnya.
Ketiga, lanjut dia, menjamin seluruh proses bisnisnya memperhatikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia sebagaimana United Nation Guiding Principles (UNGPs) on Business and Human Rights.
"Keempat, menjamin ketidak-berulangan kasus serupa di kemudian hari," kata Saurlin.