Terkait Kasus Gagal Ginjal Akut, Polri Dalami Kandungan Vaksin Imunisasi dan Paracetamol
Bareskrim Polri sedang mendalami sejumlah jenis obat-obatan yang dikonsumsi dua pasien Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA).
Penulis: Abdi Ryanda Shakti
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bareskrim Polri sedang mendalami sejumlah jenis obat-obatan yang dikonsumsi dua pasien Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA).
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyebut obat yang didalami adalah kandungan vaksin imunisasi dan Paracetamol merk Drop yang pernah dikonsumsi pasien selain Praxion.
"Saat ini Polri masih mendalami obat lain. Obat lain selain Praxion yang dikonsumsi korban antara lain vaksin saat imunisasi dan obat sirup paracetamol drop," kata Ramadhan dalam konferensi pers, Selasa (14/3/2023).
Untuk informasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendapatkan laporan kasus baru Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA), setelah tidak adanya kasus baru sejak awal Desember tahun lalu.
Hal tersebut dikonfirmasi Juru Bicara Kemenkes, Syahril.
Baca juga: Bareskrim Polri Periksa Kepala BPOM DKI Jakarta soal Kasus Gagal Ginjal Akut
"Penambahan kasus tercatat pada tahun ini, satu kasus konfirmasi GGAPA dan satu kasus suspek" ujar Syahril, Senin (6/2/2023), dikutip dari laman Kemenkes.
Penambahan kasus Gangguan Ginjal Akut ini bermula ketika sang anak sakit dan dibelikan obat sirup secara mandiri.
Satu kasus konfirmasi GGAPA merupakan anak berusia 1 tahun, mengalami demam pada tanggal 25 Januari 2023, dan diberikan obat sirup penurun demam yang dibeli di apotek dengan merk Praxion.
Baca juga: Kesimpulan Komnas HAM RI: 8 Hak Asasi Manusia Dilanggar Dalam Kasus Gagal Ginjal Akut
Pada tanggal 28 Januari 2023, pasien mengalami batuk, demam, pilek, dan tidak bisa buang air kecil (Anuria), kemudian dibawa ke Puskesmas Pasar Rebo, Jakarta, untuk mendapatkan pemeriksaan, dan pada tanggal 31 Januari mendapatkan rujukan ke Rumah Sakit Adhyaksa.
Dikarenakan ada gejala GGAPA, maka direncanakan untuk dirujuk ke RSCM, tetapi keluarga menolak dan pulang paksa.
Pada tanggal 1 Februari 2023, orang tua membawa pasien ke RS Polri dan mendapatkan perawatan di ruang IGD, dan pasien sudah mulai buang air kecil.
"Pada tanggal 1 Februari 2023, pasien kemudian dirujuk ke RSCM untuk mendapatkan perawatan intensif sekaligus terapi fomepizole, namun 3 jam setelah di RSCM pada pukul 23.00 WIB pasien dinyatakan meninggal dunia," kata Syahril, dikutip dari laman Kemenkes.
Baca juga: Tergugat Kompak Tolak Gugatan, Pengacara Korban Gagal Ginjal Akut Duga Ada Keterlibatan Mafia Obat
Sementara satu kasus lainnya masih merupakan suspek, anak berusia 7 tahun, mengalami demam pada tanggal 26 Januari 2023, kemudian mengkonsumsi obat penurun panas sirop yang dibeli secara mandiri.
Pada tanggal 30 Januari 2023 mendapatkan pengobatan penurun demam tablet dari puskesmas.
Pada tanggal 1 Februari 2023, pasien berobat ke klinik dan diberikan obat racikan.
Pada tanggal 2 Februari 2023 dirawat di RSUD Kembangan, kemudian dirujuk, dan saat ini masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta.
7 Perusahaan dan 4 Orang Jadi Tersangka
Sampai saat ini, total ada 7 perusahaan farmasi dan 4 perorangan yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus GGAPA yang menewaskan ratusan anak.
Penetapan tersangka itu dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri.
Dua korporasi yang dijerat sebagai tersangka oleh BPOM merupakan perusahaan farmasi PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical.
Sementara lima korporasi lainnya PT Afi Farma, CV Samudera Chemical, PT Tirta Buana Kemindo, CV Anugrah Perdana Gemilang, serta PT Fari Jaya Pratama ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri.
Atas perbuatannya seluruh tersangka dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 196 jo Pasal 98 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Subsider, Pasal 60 Angka 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Selain itu, mereka juga dijerat dengan Pasal 62 Ayat 1 Juncto Pasal 8 Ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Juncto Pasal 56 Ayat 2 KUHP.