Pemikiran Soekarno dan Cak Nur Dianggap Punya Kesamaan, Visioner Memandang Indonesia ke Depan
Kehadiran Hasto ke Universitas Paramadina membawa diskursus baru tentang pemikiran pendiri bangsa Soekarno.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kehadiran Doktor Universitas Pertahanan Indonesia Hasto Kristiyanto ke Universitas Paramadina membawa diskursus baru tentang pemikiran pendiri bangsa Soekarno.
Bahkan sempat dikaitkan dengan Nurcholish Madjid atau Cak Nur.
“Ada persamaan pemikiran Sukarno dan Cak Nur? Ternyata sangat-sangat kuat relevansinya karena semuanya berkaitan dengan pembaharuan pemikiran politik maupun pemikiran dalam keislaman,” kata Wakil Rektor Universitas Paramadina, Fatchiah E. Kertamuda saat membuka diskusi bertema Unpacking Indonesia X Paramadina Democracy Forum (PDF) bertajuk "Diskursus Pemikiran Politik Soekarno dan Relevansinya Terhadap Pertahanan Negara" di Universitas Paramadina, Selasa (21/3/2023).
Selain Hasto, hadir sebagai narasumber Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik J Rachbini, Pakar Geopolitik Dr. Dina Sulaeman, Pakar Politik Internasional Musa Alkadzim M.I.P, dan Dosen Universitas Paramadina Dr. A. Khoirul Umam serta moderator politikus senior Zulfan Lindan.
Baca juga: Megawati Soekarnoputri di Acara BPIP: Saya Ini Manusia Unik di Republik Indonesia, Anak Soekarno
Sementara di awal sebagai pembicara, Hasto sempat membuat pantun yang juga membawa nama Cak Nur.
“Kembangkan pemikiran Cak Nur bagi Indonesia dan dunia. Universitas Paramadina sangat ternama. Tradisi intelektualnya bangun kemajuan Indonesia bagi dunia,” kata Hasto mengawalinya dengan pantun.
Dia mengaku merasa senang saat masuk Universitas Paramadina diperlihatkan pertama kali adalah perpustakaannya.
Menurut dia ini menunjukkan tradisi intelektual dengan membaca buku.
“Saya sangat senang bertemu dengan teman-teman mahasiswa karena ini menunjukkan bahwa tradisi intelektual para pendiri Bangsa itu dibangun dengan membaca buku. Buku sebagai jendela dunia, sebagaimana dalam tradisi intelektual Soekarno,” ungkap Hasto.
Dengan membaca buku inilah, kata dia, mempunyai imajinasi akan masa depan.
“Sebagaimana Cak Nur lakukan, kemudian membukukan dalam berbagai problematika rakyat bangsa dan negara. Sehingga pada tahun 70-an beliau begitu visioner mengatakan, bahwa Islam yes partai Islam no. Ini merupakan gambaran dari pemimpin visioner,” ungkap Hasto.
Karena itu jika dikaitkan dengan pemikiran atau tradisi intelektual Soekarno maka selalu berpikiran keluar dan bukan lagi bertikai dan hanya ribut antar sesama anak bangsa.
Sehingga tercetuslah soal Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang memikirkan menghapuskan kolonialisme.
“Setelah KAA, lalu ada Perempuan Asia-Afrika, ada Dokter Anak Asia-Afrika. Karena Soekarno ingin anak-anak Indonesia tidak stunting tingginya 170 cm maka ada buku Mustika Rasa, memikirkan kecukupan gizi bagi Indonesia. Lalu ada mahasiswa Asia-Afrika,” ungkap Hasto.
“Sekarang mana ada mahasiswa Asia-Afrika? Sekarang anda harus pimpin, gagas. Karena pemikiran Cak Nur itu lintas masa waktu tertent dan visioner serta relevan. Sehingga anda harus pakai spirit itu. Dulu ada bapak Emil Salim memimpin mahasiswa Asia-Afrika. Ada wartawan Asia-Afrika. Apakah kita punya leadership bertindak keluar,” sambungnya.
Hasto mengingatkan pentingnya menunjukkan kepemimpinan Indonesia dengan segala gagasannya.
“Apa yang dilakukan dengan ekspor pete dan jengkol, ini sangat penting kalau dilihat dalam spiritnya, bagaimana komunitas Indonesia diterima di Jepang. Kita kuasai iptek agar bisa menjadi pemimpin bangsa-bangsa," kata Hasto penuh semangat. Bahkan dia memberi penekanan lebih lanjut.
“Daripada kaya tapi miskin gagasan. The power of idea ini sangat penting dalam teori geopolitik Soekarno,” pungkasnya.