Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Momen Mahfud MD 'Ngegas', Minta DPR tak Main Gertak

Mahfud MD terlihat sedikit emosi dan 'ngegas' saat menjelaskan temuan Rp 349 triliun di hadapan anggota Komisi III DPR RI.

Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Momen Mahfud MD 'Ngegas', Minta DPR tak Main Gertak
YouTube Komisi III DPR
Menkopolhukam, Mahfud saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR membahas soal transaksi mencurigakan Rp349 triliun, Rabu (29/3/2023). Mahfud MD terlihat sedikit emosi dan 'ngegas' saat menjelaskan temuan Rp 349 triliun di hadapan anggota Komisi III DPR RI. Ia meminta para anggota Komisi III DPR untuk tidak mengeluarkan ancaman-ancaman kepada dirinya. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD terlihat sedikit emosi dan 'ngegas' saat menjelaskan temuan Rp 349 triliun di hadapan anggota Komisi III DPR RI.

Ia meminta para anggota Komisi III DPR untuk tidak mengeluarkan ancaman-ancaman kepada dirinya.

Di awal rapat Mahfud MD sudah emosi ketika penjelasannya dipotong oleh seorang anggota Komisi III.

"Saya enggak mau diinterupsi, interupsi itu urusan Anda, masa iya orang ngomong diinterupsi, nantilah, Pak, saya, kan, tadi sudah bilang, pakai interupsi-interupsi enggak selesai kita ini. Lalu, saya nanti yang interupsi dituding-tuding, saya enggak mau," kata Mahfud MD dalam rapat bersama Komisi III, Rabu (29/3).

"Jangan main ancam-ancam gitu, kita ini sama saudara. Oleh sebab itu, saya ingin menegaskan itu ke Pak Arsul harap jangan dipotong," kata Mahfud MD.

Bahkan dia mengancam akan keluar dari ruang sidang bila ada yang berteriak atau memintanya keluar.

"Artinya kalau begitu, misalnya saya membantah lalu di sini ada berteriak ‘keluar’, saya keluar. Saya punya forum," kata dia.

Berita Rekomendasi

Mahfud merujuk kepada sanggahan Arsul soal kewenangan Menko Polhukam terkait kewenangan pengumuman aliran dana mencurigakan. Namun bagi Mahfud, hal tersebut sah-sah saja dilakukan selama tidak ada larangan resmi yang berlaku di UU.

"Pak Arsul bicara kewenangan. Menurut Perpres kewenangan... Polhukam itu a, b, c, d tidak berkenan mengumumkan. Lho saya tanya, apa dilarang? kalau tidak berwenang apa berarti itu dilarang?" cecar Mahfud kepada Arsul Sani.

"Kalau di dalam hukum itu sesuatu yang tidak dilarang itu boleh dilakukan. Lho, Anda dari pesantren ini saya bacakan dalilnya," cetus Mahfud dilanjutkan dengan membacakan dalil.

Mahfud mengeluh setiap ke Komisi III selalu dikeroyok. Belum sempat menjelaskan sudah diinterupsi.

"Saya setiap ke sini dikeroyok, belum ngomong sudah diinterupsi, belum ngomong diinterupsi. Waktu kasus itu juga, waktu kasus Sambo, belum ngomong diinterupsi. Dituding-tuding suruh bubarkan segala macam. Jangan begitu dong," katanya.

Baca juga: Jokowi Segera Reshuffle Kabinet, PDIP Harap Mahfud MD Tak Masuk Daftar Reshuffle

Mahfud mengaku apa yang ia lakukan sudah sesuai perundang-undangan. Dia juga mengaku tidak takut dengan gertakan salah satu anggota Komisi III karena disebut membocorkan temuan PPATK.

Mahfud menantang anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan berani bersuara terkait Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.

Hal itu dia ucapkan lantaran Arteria menilai tak seharusnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membocorkan informasi intelijen kepada Mahfud MD.

Sebelumnya, Arteria mengatakan laporan PPATK tidak boleh diumumkan ke publik dan berpotensi dihukum pidana bagi yang membocorkan.

"Beranikah Saudara Arteria bilang begitu ke Pak Budi Gunawan. Dia anak buah langsung presiden, bukan Menko Polhukam," ujar Mahfud.

Menurut Mahfud MD, Budi Gunawan memberi laporan informasi intelijen kepada dirinya tiap minggu.

"Coba saudara bilang ke Pak Budi Gunawan, Pak Budi Gunawan menurut UU BIN bisa diancam 10 tahun penjara menurut Pasal 44, (Arteria) berani enggak?" tuturnya. Ia mengatakan hal tersebut persis seperti apa yang dilakukan PPATK kepada Menko Polhukam, yakni membeberkan informasi intelijen. "Lha, ini BIN menyampaikan ke saya nih enggak ke presiden. Ini bulan Maret ada nih. Kok, terus enggak boleh, gimana?" kata dia.

Mahfud MD lantas mempertanyakan tugasnya sebagai Ketua Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jika tak diperbolehkan menerima informasi dari PPATK.

"Apa gunanya ada Komite, ini penting saudara karena saya bekerja berdasarkan informasi intelijen. Apa dasarnya melapor ke ketua? Lho, saya ketua, jadi dia boleh lapor dan saya boleh minta," ucapnya.

Menko Polhukam?yang juga Ketua Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)?Ivan Yustiavandana mengikuti rapat kerja dengan Komisi III di Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).  Rapat kerja ini meminta penjelasan kepada Mahfud MD dan PPATK soal transaksi mencurigakan Rp 349 triliun yang terjadi di kementerian keuangan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMASAN
Menko Polhukam?yang juga Ketua Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)?Ivan Yustiavandana mengikuti rapat kerja dengan Komisi III di Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023). Rapat kerja ini meminta penjelasan kepada Mahfud MD dan PPATK soal transaksi mencurigakan Rp 349 triliun yang terjadi di kementerian keuangan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMASAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Mahfud juga kembali mengingatkan bahwa Budi Gunawan selalu memberi laporan intelijen meskipun bukan bawahan Menko Polhukam.

"Saya ketua komite, diangkat presiden ada SK-nya. Terus untuk apa ada ketua komite kalau tidak lapor dan saya tidak boleh tahu?" ujar Mahfud MD.

Sementara itu kepada anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny Kabur Harman, Mahfud menyindir Benny yang bertanya seperti polisi kepada copet. Hal itu dia ucapkan untuk menyoroti sikap Benny yang bertanya kepada bawahan Mahfud apakah seorang Menkopolhukam boleh melaporkan soal tindak pidana pencucian uang (TPPU) ke publik.

"Saya katakan juga kepada Pak Benny, pertanyaannya kok seperti polisi. Menko boleh mengumumkan atau tidak, begini pak. Boleh atau tidak, begini pak. Boleh atau tidak jawab iya atau tidak. (Benny) Ndak boleh tanya begitu, harus ada konteksnya dong," ujar Mahfud.

Ia juga menyinggung Benny yang meminta dalil atau pasal terkait Menkopolhukam yang diperbolehkan menyampaikan informasi intelijen kepada publik.

"Dibilang boleh, kok harus ada pasalnya? Kalau boleh itu ndak perlu ada pasalnya, misal saya tanya ke Pak Benny boleh enggak saya ke kamar mandi sekarang? Boleh, mana pasalnya? Enggak ada, karena boleh," tuturnya.

Mahfud mengatakan pasal akan ada dan berlaku apa bila ada sesuatu yang dilarang. Oleh sebab itu, menurutnya, hal yang diperbolehkan tak perlu pasal apa pun.

"Kalau dilarang baru ada pasalnya. Di mana dalilnya? Tidak ada satu kesalahan, tidak ada sesuatu itu dilarang sampai ada undang-undang yang melarang lebih dulu. Loh ini tidak dilarang kok, lalu ditanya kayak copet aja," ucapnya.

Anggota Komisi III DPR RI, Benny K. Harman, menyatakan tantangan bali kepada Menkopolhukam RI, Mahfud MD, saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Anggota Komisi III DPR RI, Benny K. Harman, menyatakan tantangan bali kepada Menkopolhukam RI, Mahfud MD, saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023). (Tangkap layar kanal YouTube TVR Parlemen)

Dalam penjelasannya kepada Komisi III DPR RI, Mahfud mengatakan ada dugaan pencucian uang sebesar Rp189 triliun yang ditutupi oleh anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait dugaan penjualan emas batangan impor.

"Keterangan bu Sri Mulyani tadi saya ingin jelaskan fakta. Nanti datanya ambil di sini. Ada kekeliruan pemahaman Sri Mulyani karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah," kata Mahfud.

Mahfud menceritakan Sri Mulyani sempat bertanya kepada jajaran eselon I Kemenkeu terkait temuan transaksi mencurigakan Rp189 triliun pada tanggal 14 Maret 2023 lalu.

Transaksi mencurigakan yang ditanyakan Sri Mulyani itu, kata Mahfud, berdasarkan temuan PPATK pada tahun 2017. Pejabat eselon I Kemenkeu itu, kata Mahfud, malah membantah adanya temuan tersebut.

Mahfud tak merinci nama pejabat eselon I Kemenkeu mana yang membantah tersebut.

"Yang semula ketika ditanya bu Sri Mulyani itu 'ini apa ada uang Rp189 [triliun]?' itu pejabat tingginya eselon I bilang 'bu enggak ada bu di sini," kata Mahfud menjelaskan.

Ketika pejabat eselon I Kemenkeu itu membantah, Mahfud mengatakan Sri Mulyani menunjukkan ada surat dari PPATK sejak tahun 2020 soal transaksi mencurigakan Rp189 triliun. Namun, pejabat eselon I Kemenkeu itu membantahnya lagi.

Kemudian, Mahfud mengatakan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana yang hadir pada kesempatan bersama Sri Mulyani itu justru menunjukkan surat yang valid. Melihat itu, Mahfud mengatakan pejabat eselon I Kemenkeu itu langsung melakukan penelitian lebih lanjut.

"Ada pak Ivan [di situ], 'lah ada'. Baru dia [pejabat eselon I Kemenkeu] bilang 'oh iya itu nanti dicari'. Dan itu menyangkut Rp189 triliun," kata dia.

Baca juga: Johan Budi Berharap Mahfud MD Tak Direshuffle Gara-gara Debat di Luar Terkait Dugaan TPPU Rp 349 T

Mahfud menjelaskan temuan Rp189 triliun itu merupakan dugaan pencucian uang cukai dengan 15 entitas terkait impor emas batangan. Surat cukai itu, kata Mahfud, diduga dimanipulasi dengan keterangan 'emas mentah'. Padahal sudah terbentuk emas batangan.

"Impor emas batangan yang mahal itu. Tapi di surat cukainya itu emas mentah. "Bagaimana kamu kan emasnya udah jadi, kok bilang emas mentah? 'Enggak, ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya', di cari ke Surabaya dan enggak ada. Itu menyangkut uang miliaran tapi enggak diperiksa," kata dia.

Mahfud menjelaskan temuan laporan transaksi mencurigakan Rp189 triliun itu diberikan oleh PPATK pada tahun 2017 ke Kementerian Keuangan melalui Dirjen Bea Cukai, Irjen Kemenkeu dan dua orang lainnya. Namun, ia mengatakan laporan itu tidak berbentuk surat lantaran sensitif.

Kemudian, PPATK baru mengirimkan surat resmi kepada Kemenkeu tahun 2020 lantaran tak ada tindak lanjut sejak laporan tahun 2017 diberikan. Namun, Mahfud mengatakan surat PPATK tahun 2020 itu tak sampai ke Sri Mulyani.

"Kemudian dua tahun enggak muncul, tahun 2020 dikirim lagi [surat] enggak sampai juga ke bu Sri Mulyani. Sehingga bertanya ketika kami kasih itu. Dan dijelaskan yang salah," kata Mahfud.

Sementara itu Benny K Harman dalam rapat itu mengusulkan agar DPR membentuk panitia khusus (Pansus) untuk mengusut dugaan transaksi janggal sebesar Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Kalau memang terjadi, saya rasa panggil Sri Mulyani. Kalau bisa bentuk Pansus lebih pas lagi supaya kita lebih mendalam. Masuk lebih jauh, masuk lebih dalam," kata Benny.

Benny menegaskan kasus ini tidak boleh ditutup-tutupi oleh siapapun. Ia juga mengatakan pengusutan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus ini juga diungkap ke publik.

"Tapi jangan ke mana-mana. Jangan singgung soal TPPU, judi dan sebagainya. Fokus ke TPPU di lingkungan Kemenkeu saja, sebab ini sentrum keuangan negara kita," kata dia.

"Kalau yang diumumkan Pak Mahfud Rp349 triliun di lingkungan Kemenkeu di bea cukai dan pajak. Tapi TPPU di sana kalau itu terjadi luar biasa," tambahnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman saat rapat dengar pendapat soal transaksi mencurigakan Rp 349 triliun pada Rabu (29/3/2023).
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman saat rapat dengar pendapat soal transaksi mencurigakan Rp 349 triliun pada Rabu (29/3/2023). (YouTube Komisi III DPR RI)

Tak hanya itu Benny juga meminta agar DPR bisa memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk dimintai klarifikasinya soal temuan yang diungkapkan Mahfud. Pasalnya, Benny mengatakan kabar Sri Mulyani dibohongi oleh anak buahnya dalam kasus ini patut untuk diklarifikasi lebih jauh.

"Kalau betul bapak sampaikan ini, saya minta kita undang sri mulyani. Setuju. Jangan lama-lama maksud saya. Besok ya besok. Supaya tau siapa yang melakukan pembohongan publik," kata dia.(tribun network/git/igm/frs/den/riz/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas