Debat Keras dengan Mahfud MD di DPR, Arteria Dahlan Diduga 3 Tahun Tidak Lapor Harta Kekayaan
Total harta kekayaan Arterian Dahlan saat terakhir kali melapor ke situs LHKPN tahun 2019 mencapai Rp 19,2 miliar atau naik Rp 5,7 miliar.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan diduga belum melaporkan harta kekayaannya di situs Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama tiga tahun ini.
Hal itu diketahui netizen setelah nama Arteria Dahlan jadi sorotan ketika dia berdebat keras dengan Menko Polhukam Mahfud MD saat Mahfud MD memberikan klarifikasi soal transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.
Melaporkan harta kekayaan ke situs LHKPN yang dikelola KPK merupakan kewajiban bagi para pejabat negara untuk mendeteksi adanya dugaan korupsi hingga pencucian uang.
Hal itu sebagai bentuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme serta penyalahgunaan kekuasaan, pemerintah.
Melaporkan harta kekayaan yang dimilikinya kepada KPK melalui LHKPN sebagaimana mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Arteria Dahlan sebagaimana dilihat Serambinews.com, Minggu (2/4/2023) dari laman resmi LHKPN, terakhir kali melaporkan harta kekayaan pribadinya pada 2019.
Tercatat tanggal terakhir Arteria Dahlan melaporkan harta kekayaannya pada 31 Desember 2019 atau tiga tahun lalu.
Total harta kekayaan Arterian Dahlan saat terakhir kali melapor ke situs LHKPN tahun 2019 mencapai Rp 19,2 miliar atau naik Rp 5,7 miliar dibandingkan tahun sebelumnya di Desember 2018.
Dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, dasar hukum pejabat negara wajib melaporkan LHKPN mereka adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Baca juga: Profil Arteria Dahlan, Politikus PDIP yang Sempat Debat Panas dengan Mahfud MD, Pernah Viral
Dasar hukum lainnya adalah Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Atas dasar hukum-dasar hukum tersebut, setiap penyelenggara negara wajib untuk bersedia diperiksa kekayaannya, baik sebelum menjabat, selama menjabat atau bahkan setelah menjabat.
Penyelenggara negara juga wajib melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi, pensiun dan juga wajib dalam menginformasikan harta kekayaan.
Pembahasan Arteria Dahlan menjadi ramai usai debat dengan Menko Polhukam Mahfud MD soal transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu.
Baca juga: Arteria Dahlan Ngaku Dibully Karena Melawan Mahfud: Saya Dibilang Cupu dan Penakut
Netizen memberikan sejumlah komentar usai Arteria Dahlan tidak laporkan harta kekayaan selama itu.
"Alhamdulillah semoga cepat diproses," tulis salah seorang warganet di kolom komentar Facebook Serambinews.com, Minggu (2/4/2023).
"Tinggal nunggu waktu. Banyak mata memantau," tulis netizen lainnya.
Sebelumnya dalam rapat dengan anggota Komisi III DPR RI, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan, jika saja dia bisa menyebut nama yang terlibat, jangan-jangan ada orangn yang terlibat kasus transaksi mencurigakan dan orangnya juga ada di forum rapat tersebut.
Soal transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan, Mahfud MD menegaskan apa yang diutarakan selama ini ke publik bukan membuka data pribadi terduga, melainkan hanya menyampaikan angka agregat agar bisa ditindaklanjuti.
Mahfud MD yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (KNK-PP-TPPU) berujar, bila data agregat yang dipegangnya dibuka, bisa jadi orang yang menjadi terduga ada di ruangan tersebut.
"Kalau mau buka-bukaan, ayolah. Di sini ada yang bisa dibuka, ada yang agregat gak bisa nyebut nama. Kalau menyebut nama jangan-jangan ada orangnya di sini juga," ucap Mahfud dilihat dari kanal YouTube resmi DPR RI, Rabu (29/3/2023).
"Di ruangan sana jangan-jangan yang ada nama sini," tambahnya sambil mengetuk bundel tebal yang dibawa.
Menko Polhukam itu menjelaskan, ketentuan tidak boleh menyebut data sudah jelas ada aturannya.
Hal itu kalau menyangkut identitas seseorang, nama perusahaan, nomor akun, profil entitas terkait transaksi, pihak terlapor, nilai, tujuan transaksi dan sebagainya.
"Saya nggak nyebut apa-apa, hanya nyebut angkat agregat ok," jelas Mahfud.
Kepada anggota DPR, Mahfud MD juga dengan tegas mengingatkan bahwa kedudukan DPR dan pemerintah sejajar.
"Saudara, saya ingin menyampaikan bahwa kedudukan DPR dan pemerintah ini sejajar," kata Mahfud MD.
"Oleh sebab itu kita harus bersama bersikap sejajar, saling menerangkan, berargumen, tidak boleh ada yang satu menuding yang lain seperti polisi memeriksa copet," tambahnya.
Menurutnya, pemerintah bisa melakukan tindakan saling buka data seperti yang dilakukannya beberapa waktu lalu soal transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.
Selanjutnya mengenai legal standing bolehkan Menko Polhukam membuka data pencucian uang ke publik sebagaimana yang dipersoalkan Benny K Harman, Arteria Dahlan, Arsul Sani dkk di Komisi III DPR RI, dijawab Mahfud dalam kesempatan itu.
Dijelaskannya bahwa kasus transaksi janggal Rp 349 triliun yang diumumkan beberapa waktu lalu adalah bersifat agregat.
"Jadi, perputaran uang tidak menyebut nama orang, tidak menyebut nama akun. Itu tidak boleh, agregat," jelas Mahfud.
Sementara yang sudah disebut namanya hanya mereka yang sudah menjadi kasus hukum seperti Rafael Alun Trisambodo, Angin Prayitno dan nama-nama lain.
Emosi Diinterupsi
Mahfud MD juga sempat emosi ketika salah seorang anggota Komisi III DPR ingin melakukan interupsi saat Menko Polhukam itu berbicara.
"Misalnya saya membantah lalu di sini ada yang berteriak keluar, saya keluar. Saya punya forum," ucap Mahfud dengan suara tinggi.
"Saya setiap ke sini dikeroyok, belum ngomong sudah diinterupsi. Waktu kasus Sambo begitu juga, belum ngomong sudah diinterupsi, dituding-tuding suruh bubarkan, jangan begitu dong," tambahnya.
Ternyata interupsi tersebut hanya mengingatkan ada salah seorang yang mikrofonnya mati, hal itu kemudian sempat memecah tawa seisi ruangan rapat Komisi III DPR RI.
"Jangan-jangan disabotase ini," ucap Mahfud bercanda.
Sentil Arteria Dahlan
Menko Polhukam sekaligus Ketua KNK-PP-TPPU itu juga mengingatkan pernyataan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan soal ancaman empat tahun penjara beberapa waktu lalu.
"Wah katanya, ini bisa diancam dengan hukuman pidana empat tahun," ucap Mahfud menirukan Arteria.
"Karena itu lalu terpancing Boyamin itu (Koordinator MAKI) diaduin betul (ke Kabareskrim), meskipun dia guyon sebenarnya, biar yang dipanggil itu menjelaskan pak Arteria," tambahnya.
Kala itu memang Arteria bertanya apa dasar Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana melaporkan data tersebut ke Mahfud MD.
"Apa dasarnya melapor ke ketua (KNK-PP-TPPU), lho saya ketua jadi dia boleh lapor, boleh saya minta," tegas Mahfud.
"Lho kamu kan ke Pak Presiden, kenapa ke ketua. Memang kenapa, saya ketua diangkat presiden, ada SK-nya," sambung Mahfud MD.
Menurutnya, untuk apa ada ketua dan komite bila PPATK tidak boleh melaporkan data-data yang diperlukan dan dirinya tidak boleh tahu.
"Itu bisa dihukum 10 tahun, beranikah saudara Arteria bilang begitu ke Kepala BIN Pak Budi Gunawan," ucap Mahfud.
"Pak Budi Gunawan itu anak buah langsung Presiden, bukan anak buahnya Menko Polhukam, tapi setiap minggu lapor info intelijen kepada Menko Polhukam.
"Coba saudara bilang ke Pak Budi Gunawan, menurut undang-undang BIN bisa diancam 10 tahun penjara, berani gak. Kan persis seperti yang saudara baca kepada saya," tambahnya.
Kok Baru Ribut Sekarang
Mahfud MD juga menyentil Arteria Dahlan kenapa baru ribut sekarang, padahal tindakan tersebut sudah dilakukan pada kasus-kasus lain sebelumnya.
"Sudah dilakukan banyak ini, kok saudara baru ribut sekarang. Diumumkan sejak dulu saudara diam aja, ini kita yang mengumumkan kasus Indosurya," ucap Mahfud.
"Yang sampai sekarang bebas di pengadilan, kita tangkap lagi karena kasusnya banyak. Itu kan PPATK, kok ributnya baru soal ini.
Lukas Enembe, ketika tersangka rakyatnya ngamuk-ngamuk, saya panggil PPATK, umumkan. Kalau tidak begitu, gak bisa ditangkap dia," tambahnya.
Jangan Gertak-gertak
Menko Polhukam sekaligus Ketua KNK-PP-TPPU itu menegaskan agar Anggota DPR terkhusus kepada Arteria Dahlan untuk jangan menggertak-gertak dirinya soal kasus ini, apalagi mengancam dengan pidana.
"Oleh sebab itu saudara jangan gertak-gertak, saya bisa gertak juga saudara, bisa dihukum menghalang-halangi penyidikan penegakan hukum," tegas Mahfud.
"Dan ini sudah ada yang dihukum tujuh tahun setengah, namanya Fredrich Yunadi. Ya kayak kerja-kerja saudara itu, orang mengungkap dihantam, ungkap dihantam," tambahnya.
Kala itu Fredrich Yunadi melindungi Setya Novanto dan melaporkan sejumlah orang saat penyidikan.
"Kita bilang ke KPK, itu menghalang-halangi penyidikan dan penegakan hukum, tangkap. Jadi jangan ancam-ancam begitu, kita ini sama," tambahnya.
Kemudian Mahfud juga menyentil Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP, Arsul Sani yang membicarakan soal kewenangan beberapa waktu lalu.
"Menurut Perpres, Polhukam itu tidak berwenang mengumumkan. Lho saya tanya, apa dilarang mengumumkan, kalau tidak berwenang apa dilarang," tanya Mahfud.
"Kalau dalam hukum itu, sesuatu yang tidak dilarang itu boleh dilakukan. Jadi setiap urusan itu kalau tidak ada larangan, boleh. Kecuali sampai timbul hukum yang melarang," tambahnya.
Kayak Tanya ke Copet
Mahfud MD juga menyentil Benny K Harman yang bertanya ke PPATK seperti polisi ke pencopet.
"Saya katakan juga ke pak Benny, pertanyaannya seperti polisi. Menko boleh mengumumkan apa tidak, boleh apa tidak, jawab iya apa tidak. Kan gak boleh tanya begitu," jelas Mahfud.
"Harus ada konteksnya dong. Terus dia bilang, boleh. Kalau boleh sebutkan pasalnya. Lho wong boleh kok harus ada pasalnya, kalau boleh itu gak perlu pasal,” tambahnya.
Mahfud MD juga sempat mencontohkan soal pergi ke kamar mandi.
“Misalnya saya ke pak Benny, boleh gak saya ke kamar mandi sekarang, boleh mana pasal. Gak ada, karena boleh. Kalau dilarang baru ada pasalnya,” kata Mahfud.
“Di mana dalilnya, tidak ada satu kesalahan, tidak sesuatu yang dilarang sampai ada undang-undang yang melarang lebih dulu. Ini tidak dilarang, kok ditanya kayak copet aja," tambahnya.
Sumber: Tribun Pekanbaru
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.