Koalisi Besar KIR-KIB Dinilai jadi Ancaman Demokrasi Indonesia, Bakal Muncul 2 Blok Picu Polarisasi
Wacana koalisi besar KIR-KIB dinilai dapat menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia.
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago turut mengomentari soal wacana koalisi besar menjelang Pemilu 2024.
Adapun dua koalisi yang dimaksud adalah koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) digagas oleh Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sementara, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) merupakan gabungan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini, wacana gabungnya dua koalisi tersebut sama dengan politik keledai.
Di mana nantinya akan berdampak pada terjadinya polarisasi di Indonesia, sama seperti pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya.
Baca juga: Anggota Komisi II DPR: Penundaan Pemilu Lahirkan Preseden Buruk Bagi Masa Depan Demokrasi
Bahkan, dikatakan Pangi, wacana tersebut adalah ancaman bagi demokrasi Indonesia.
Hal itu diungkapkan Pangi saat menjadi narasumber dalam Program Overview, Koalisi Besar KIR-KIB, Realistis?, yang tayang di YouTube Tribunnews, Kamis (6/4/2023).
"Koalisi besar itu bukan angin segar bagi saya, justru menurut saya ancaman demokrasi, karena koalisi besar ini ada kecenderungan, ada arsitek, ada desain, menurut saya, yang seolah pengkondisian untuk dua blok saja yakni Super Block koalisinya Pak Jokowi dengan koalisinya Pak Anis dengan Pak Surya Paloh."
"Ini yang saya khawatirkan jangan kita seperti politisi keledai, politisi yang nggak belajar-belajar dari persamaan peristiwa masa lalu yang sudah ditontonkan bagaimana terjadinya, bipolar, head to head, remage Pilpres 2 kali Pemilu," kata Pangi Syarwi.
Mengingat kejadian sebelumnya, lanjut Pangi, dua kubu saling menghalalkan segala cara, bahkan ada isu agama digoreng untuk membenturkan blog ideologis.
Baca juga: Sebut Banyak Gangguan Tahapan Pemilu, Anggota DPR Ini Khawatir Pemilu Ditunda
"Seolah pertarungannya seperti blok ideologis yang mengental pada masing-masing calon Presiden kita," lanjut Pangi.
Jika demikian, menurut Pangi, lebih baik Pemilu tidak digelar lagi.
"Karena Pemilu hanya lima tahunan tapi kerusakannya keterbelahannya ini merusak semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan fitur-fitur demokrasi itu rusak," ujar Pangi.
Menurut Pangi, akan lebih baik jika Pemilu terselenggara dengan paling tidak ada tiga orang kandidat calon Presiden.
"Agar tidak terjadi keterbelahan, politik identitas dan seterusnya, supaya masyarakat punya alternatif pilihan itu."
"Karena jika hanya dengan dua calon Presiden, belum tentu bisa menampung aspirasi partikulasi dan agresi semua kepentingan masyarakat, apalagi generasi gen Z belum tentu setuju dengan dua calon Presiden," lanjut Pangi.
Yang terjadi selanjutnya, masyarakat akan golput.
Baca juga: Pengamat: Koalisi Besar Berpeluang Terbentuk di Pemilu 2024, Tapi akan Banyak Dinamika
Mereka Golput tidak hanya soal Golput ideologis atau Golput teknis atau administratif tapi lebih besar lagi, Golput karena dua calon Presiden tidak merepresentasikan menu sajian.
"Jadi mereka tidak merasa itu representasi mereka, sehingga mereka tak mau datang ke TPS karena mereka merasa tidak terwakilkan oleh partai politik dan musibahnya lagi adalah yang disajikan oleh partai politik orang yang sebetulnya sangat terbatas," jelas Pangi.
Untuk itu, pihaknya tidak menganjurkan wacana koalisi besar tersebut.
"Jadi menurut saya untuk apa koalisi besar ini? menurut saya niat koalisi besar ini dikubur saja, ini nggak penting."
"Lebih baik kita punya calon presiden itu lebih banyak, paling tidak tiga kandidat menurut saya, kalau dua menurut saya itu politisi keledai, nggak belajar dari peristiwa masa lalu," tegas pangi.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.