Pakar Bicara Perang Bintang di Kasus Teddy Minahasa: Mabes Harus Dalami Informasi yang Diungkap TM
Menurut Reza, pledoi Teddy Minahasa gamblang menunjukkan adanya perang bintang di tubuh Polri.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli psikologi forensik (Psifor) Reza Indragiri Amriel memberikan pernyataan terbaru terkait kasus narkoba yang menjerat mantan Kapolda Sumatera Barat, Irjen Teddy Minahasa.
"Apa perkiraan saya tentang kasus Teddy Minahasa dan Dody Prawiranegara ? Secara kebetulan ada kemiripan antara spekulasi yang saya sampaikan dan isi pledoi Teddy Minahasa. Yakni bagi Teddy Minahasa, ini pada awalnya diniatkan sebagai penjebakan legal (chance-providing type of entrapment) dalam rangka menorehkan catatan prestasi yang dapat mendukung kenaikan jabatan dan kepangkatan Dody Prawiranegara . Namun rencana tersebut Teddy Minahasa batalkan," ujar Reza Indragiri dalam keterangannya, Kamis (13/4/2023).
Reza melanjutkan, sementara bagi Dody Prawiranegara ini menjadi perbuatan pidana yang sama sekali tidak diketahui Teddy Minahasa, yakni Dody Prawiranegara dan SM melakukan penjualan narkoba kepada Linda untuk mendapatkan memperoleh uang tunai yang Dody Prawiranegara butuhkan untuk "menembak Mabes".
"Makna kiasan itu sepertinya adalah pelicin untuk memperlancar karir Dody Prawiranegara di Polri. Namun begitu tertangkap, Dody Prawiranegara mengklaim bahwa ia sebatas melaksanakan perintah dari Teddy Minahasa yang tidak bisa Dody Prawiranegara tolak."
Menurut Reza, pledoi Teddy Minahasa gamblang menunjukkan adanya perang bintang di tubuh Polri.
Baca juga: Reza Indragiri Sebut Jabatan Strategis Buat Teddy Layak Dianggap SDM Terbaik Polri
"Dugaan tentang ini pun sudah saya kemukakan sejak Oktober tahun lalu, jauh sebelum persidangan dimulai. Bahwa, keberadaan klik (clique) atau subgrup di internal kepolisian sudah cukup banyak dikaji. Jika antar klik itu saling berkompetisi secara konstruktif, maka ini berdampak positif bagi masyarakat."
Artinya, menurut Reza, pertama, publik bisa teryakinkan bahwa posisi-posisi penting di lembaga kepolisian memang diisi oleh SDM terbaik.
Dan kedua, Strategic Model dalam penegakan hukum.
Yaitu polisi-polisi akan berlomba melakukan penegakan hukum bukan demi kepastian, kemanfaatan, apalagi kepastian hukum, melainkan untuk memperoleh credit point.
"Apa pun motif para polisi itu, pastinya khalayak luas akan lebih terlindungi. Terlindungi oleh para personel polisi yang gila kerja demi pangkat dan jabatan, saya pandang sah-sah saja."
"Sebaliknya, sangat mengerikan kalau antar klik polisi saling bersaing dengan cara destruktif bahkan sabotase satu sama lain. Ini berbahaya, karena memperlihatkan praktik pemangsaan dalam organisasi yang berkultur toxic," katanya.
Apabila, sambung Reza, antar subgrup di dalam tubuh kepolisian itu bersaing dengan cara destruktif, maka hal tersebut bisa merusak kohesivitas organisasi kepolisian. Dan kalau institusi kepolisian sudah pecah belah, maka publik yang merasakan mudaratnya.
Lebih-lebih, kalau sesama klik dan personel polisi saja bisa terjadi kriminalisasi, maka betapa rentannya masyarakat mengalami malapetaka serupa.
"Di samping dengan alasan mengurangi pesaing dalam berkarir, sabotase antar klik di internal kepolisian juga dapat dapat dilakukan untuk melindungi oknum."
Artinya, kata Reza, polisi-polisi baik dijungkal sedemikian rupa agar polisi-polisi yang nakal tetap leluasa melakukan pidana. Baik pidana secara individual maupun dalam bentuk sindikasi bersama pihak eksternal kepolisian.
Nah, kembali ke pledoi Teddy Minahasa.
Reza Indragiri mengatakan, dengan adanya indikasi perang bintang di balik kasus Teddy Minahasa, sangat patut jika Mabes Polri mendalami informasi-informasi sensitif yang disampaikan Teddy Minahasa.
Merasa dijebak Dody
Eks Kapolda Sumbar, Irjen Teddy Minahasa mengkalim dirinya merasa dijebak oleh istri mantan Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara, Rakhma Darma Putri terkait perkara peredaran narkoba.
Hal ini disampaikannya saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Kamis (13/4/2023).
Awalnya, Teddy mengklaim dirinya dijebak oleh Rakhma terkait rekaman telepon yang sempat dibuka di persidangan beberapa waktu lalu.
Menurutnya, rekaman telepon yang dibuka oleh Rakhma dan ayah Dody, Maman Supratman telah menyudutkan dirinya.
Teddy menyebut rekaman telepon itu tidak berkaitan dirinya agar Dody mau bersekutu dengannya.
Namun, percakapan itu justru terkait Rakhma yang meminta tolong kepada Teddy dalam kasus peredaran narkoba ini.
"Tentang drama Maman dan Rakhma. Mohon izin majelis hakim Yang Mulia, saya sama sekali tidak menyangka bahwa Maman Supratman bisa memutarbalikkan fakta seperti itu."
"Pada awalnya justru Rakhma yang berulang kali meminta tolong kepada saya melalui istri saya, meskipun Rakhma tahu bahwa saya juga sama (dengan Dody) berada di dalam tahanan," katanya saat sidang dan ditayangkan di YouTube Kompas TV.
Setelah adanya percakapan dengan Rakhma, Teddy pun menghubungi Maman terkait permintaan bantuan dari menantunya tersebut.
Hanya saja, kata Teddy, Maman menolak untuk membicarakan kasus yang menjerat Dody lantaran telah diurusi oleh Rakhma.
Sehingga, Teddy mengklaim percakapan antara Rakhma dan Maman bukan bentuk intervensi namun terkait permintaan bantuan dari istri Dody.
"Kemudian saya menghubungi Maman Supratman dan dia bilang bahwa terkait kasus Dody yang mengurusi adalah Rakhma. Persoalannya adalah darimana saya dapat nomor telepon Maman? Ya dari Rakhma, Yang Mulia."
"Kemudian Maman Supratman mengatakan bahwa persoalan Dody Prawiranegara yang mengurusi adalah Rakhma. Oleh karena itu saya mengubungi Rakhma Kembali, sama sekali saya tidak ada menekan dan intervensi, semata-mata hanya ingin menolong Dody sesuai permintaan bantuan Rakhma kepada saya walaupun saya sama-sama mendekam dalam penjara," bebernya.
Tak sampai di situ, Teddy pun menilai direkamnya percakapan antara dirinya dengan Rakhma dan Maman adalah bentuk penjebakan.
Selain itu, ia juga menyoroti surat terbuka Maman terkait permohonan agar Dody bisa menjadi justice collaborator kendati ditolak oleh Lembagai Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Menurutnya, permohonan ini menunjukan perilaku Maman dan Dody memiliki perilaku yang sama yakni membela diri demi mampu menyerang orang lain.
"Like father like son, antara anak dan orang tua sama saja perilakunya, yaitu membela diri dengan menyerang dan memberatkan orang lain," tegasnya.
Terkait percakapan tersebut, Teddy justru mempertanyakan alasan Rakhma dan Maman yang tetap menerima panggilan telepon darinya jika memang hal itu merupakan bentuk intervensi.
Hal ini pun membuat dirinya kembali menegaskan bahwa ia telah dikerjai oleh Rakhma dan Maman.
"Seandainya pada saat itu saya benar-benar melakukan intervensi atau kepentingan hal buruk lainnya untuk kepentingan saya, mengapa Maman Supratman dan Rakhma tidak menolak atau me-reject panggilan telepon dari saya? Bahkan Maman merekomendasikan agar saya menghubungi Rakhma dan mengapa pula Rakhma masih mengangkat telepon saya jika untuk intervensi?"
"Justru saya telepon Rakhma untuk menindaklanjuti permintaan tolong Rahma untuk suaminya karena Rakhma selalu mengeluh kepada istri saya, 'Kok Mas Dody kena pasal berlapis?'. Saya merasa benar-benar dikerjai oleh keluarga Dody Prawiranegara ini, Yang Mulia," ujarnya.