Akademisi Soroti Usulan Perubahan pada Revisi UU TNI
Dengan adanya tumpang tindih, kata Milda, kewenangan TNI dan Polri itu bisa justru berpotensi merusak Criminal Justice Sistem Peradilan Pidana.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Milda Istiqomah menyoroti usulan perubahan pasal-pasal revisi UU TNI.
Menurutnya, dari usulan perubahan pasal-pasal revisi UU TNI berpotensi jadi masalah.
Misalnya yakni di pasal 17 terkait penambahan tugas pokok dan fungsi TNI, yaitu untuk mendukung pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman terorisme, menanggulangi ancaman siber, dan mendukung pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif.
Milda menyebut usulan itu sangat luas dan multitafsir. Hal itu disampaikannya dalam Diskusi bertajuk “Telaah Kritis Revisi UU TNI dalam Perspektif Politik, Hukum, dan Keamanan”, yang digelar LBH Surabaya Pos Malang YLBhi kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Imparsial, Rabu (31/5/2023).
"Nah ini menurut saya sangat bermasalah. Karena untuk mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat di mana dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme, tindak pidana keamanan siber dan juga tindak pidana narkotika itu berada di bawah kewenangan kepolisian. Dan itu enggak bisa di otak-atik karena akan terjadi tumpang tindih kewenangan," katanya.
Dengan adanya tumpang tindih, kata Milda, kewenangan TNI dan Polri itu bisa justru berpotensi merusak Criminal Justice Sistem Peradilan Pidana.
Baca juga: Kaji Revisi UU TNI, Lemhannas Arahkan Untuk Evaluasi Penerapannya Selama 20 Tahun
"Jadi persoalan-persoalan yang sangat mendasar itu ditabrak dengan pembahasan rancangan undang-undang yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan akademisi," ujarnya.
Selain itu, Milda mengkritisi penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil dapat mengembalikan dwi fungai Abri.
"Kekhawatiran saya mungkin nanti lama-lama jabatan di Universitas juga ditempatin oleh anggota TNI, karena nanti bisa masuk ke Kementerian Pendidikan," ujarnya.
"Kalau TNI kembali masuk ke jabatan sipil secara luas seperti dalam draft RUU TNI versi Mabes TNI ini maka kita akan kembali lagi ke masa Orde Baru," lanjutnya.
Sementara itu, Direktur LBH Pos Malang Daniel Siagian mengatakan, Rancangan revisi UU TNI yang beredar belakangan ini mengingatkan kembali trauma historis bagaimana Dwifungsi ABRI dulu dijalankan di zaman rezim Orde Baru.
Dia mengingatkan dahulu jabatan Rektor, Bupati sampai Gubernur itu diisi oleh kalangan militer aktif.
Dwifungsi tersebut kemudian ditolak oleh gelombang gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil melalui Gerakan Reformasi 98 karena pelanggaran HAM terbesar zaman Orde Baru dilakukan oleh kalangan ABRI.
Amanat penghapusan Dwifungsi ABRI itu kemudian ada di TAP MPR nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000.
Penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil itu sudah terjadi sebelum beredarnya draft revisi undang-undang TNI ini, seperti beberapa Kepala Daerah dijabat oleh anggota TNI aktif.
"Jadi sebenarnya infiltrasi dari prajurit ataupun aparat militer aktif itu sudah terjadi bahkan sebelum UU TNI ini direvisi," ujarnya.
Menurutnya, ketika RUU TNI ini direvisi dengan segala macam penambahan kewenangannya, yang pasti pelanggaran HAM oleh TNI akan semakin meningkat.
Ditambah lagi dengan rencana penguatan atau penambahan kodam-kodam di setiap provinsi di Indonesia yang itu justru berpotensi terjadinya eskalasi pelanggaran hak asasi manusia.
Adapun secara de facto, lanjut Daniel, sudah banyak TNI terlibat dalam pengamanan konflik.
Misalnya penggusuran, konflik pengamanan, demonstrasi, menjaga Kawasan Industri, tambang, bisnis agraria dan lain sebagainya.
"Itu semua illegal, kalau kita merujuk pada pasal 7 ayat 3 UU TNI, dimana pelibatan TNI dalam OMSP atau operasi militer selain perang ini perlu keputusan politik negara. Mengingat hal itu, maka revisi UU TNI ini menjadi satu yang "tricky” karena ingin melegalkan hal yang sebelumnya illegal," tandasnya.