Kasus AW-101, Kuasa Hukum Laporkan Majelis Hakim ke KY dan Badan Pengawasan MA
Menurut Iskandar, setidaknya ada 3 hal yang mendorongnya membuat laporan dugaan pelanggaran kode etik yakni hakim tidak adil, tidak arif dan bijaksana
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Iskandar DG Pratty selaku kuasa hukum John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh hari ini, Rabu (31/5/2023), melaporkan majelis hakim tingkat pertama dan banding kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101 ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) karena diduga kuat melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam membuat putusan.
Diketahui, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Irfan Kurnia Saleh divonis 10 tahun penjara, Rabu (22/2/2023).
Direktur PT Diratama Jaya Mandiri itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di lingkungan TNI Angkatan Udara (AU) tahun 2015-2017.
Baca juga: John Irfan Kenway Divonis 10 Tahun Penjara Atas Kasus Korupsi Helikopter AW-101
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama.
Menurut Iskandar, setidaknya ada 3 hal yang mendorongnya membuat laporan dugaan pelanggaran kode etik yakni hakim tidak adil, tidak arif dan bijaksana, serta tidak profesional.
“Tidak adil, karena majelis hakim (terlapor) tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini antara lain terlihat dari putusan yang jelas-jelas tidak menempatkan semua dokumen bukti-bukti surat pelapor yang berkaitan dengan pengadaan AW-101 yang telah menjadi barang milik negara,” kata Iskandar Pratty dalam rilisnya, Rabu (31/5/2023).
Baca juga: Sidang Kasus Helikopter AW-101, Penasihat Hukum: JPU KPK Imajinatif!
Justru sebaliknya, kata Iskandar, terlapor memasukkan dan mempertimbangkan keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Angga Munggaran, padahal saksi tersebut gagal dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di muka persidangan, dan saat di-BAP tidak disumpah.
Hakim tidak arif dan bijaksana, kata Iskandar, karena tidak mempertimbangkan dalil-dalil yang telah diajukan oleh terdakwa tentang adanya penyelesaian kasus AW-101 melalui putusan PN Jakarta Timur yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Dalam putusan itu, tidak ada unsur tindak pidana secara bersama-sama yang dilakukan oleh terdakwa dengan penyelenggara negara lainnya sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
“Tidak ada perhitungan kerugian negara yang sah dilakukan oleh lembaga yang yang berwenang, yakni BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Perhitungan negara justru dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sendiri,” jelas Iskandar.
Hakim dinilai Iskandar tidak profesional, karena mereka telah keliru dalam membuat putusan dan tidak mempunyai kesungguhan untuk melaksanakan pekerjaannya, yakni dengan menghukum terdakwa, padahal nyata-nyata tidak ada dasar perhitungan kerugian negara dari BPK.
“Padahal hakim sendiri dalam putusannya menyatakan BPK adalah lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara,” paparnya.
Baca juga: Sidang Dugaan Korupsi Helikopter AW-101, Penasihat Hukum Terdakwa Keberatan Tuntutan JPU
“Terlapor (majelis hakim) juga bersikap tidak professional dengan mempertimbangan saksi ahli yang tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP, bahkan sikap tidak profesional dan ‘serampangan’ terlapor lainnya yaitu mempertimbangan keterangan saksi ahli Kiki Fauziah, seorang PNS di KPK dalam menghitung kerugian negara kasus AW-101,” lanjutnya.
Adapun sikap terlapor yang dinilai Iskandar paling fatal adalah fakta hukum yang dibuat terlapor bukan fakta yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang, tapi hanya “copy paste” surat dakwaan JPU.
“Fakta (hukum) yang diuraikan pada bagian pertimbangan hukum oleh terlapor sebagian besar persis sama dengan fakta yang diuraikan oleh JPU dalam surat dakwaannya, Dengan demikian, segala hasil pemeriksaan di depan persidangan selama ini menjadi tidak berguna dalam
mengungkap kebenaran dan keadilan,” sesalnya.
Iskandar kemudian menguraikan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dilakukan oleh Majelis Hakim Tinggi di PT DKI Jakarta dalam putusan banding kasus AW-101.
Pertama, kata Iskandar, terlapor secara tidak adil menyatakan mengambil alih pertimbangan majelis hakim tingkat pertama, di mana hal itu sangat melukai rasa keadilan terdakwa, sebab majelis tingkat pertama tidak mengakomodir fakta-fakta hukum yang sebenarnya terjadi di persidangan, justru tanpa rasa berdosa sedikit pun malah meng-“copy paste” dakwaan JPU.
Kedua, menurut Iskandar, majelis hakim dengan tidak arif dan tidak bijaksana serta dengan sengaja tidak mempertimbangan alasan pelapor sebagai pembanding bahwa selisih nilai kerugian yang disebutkan oleh majelis hakim tingkat pertama adalah uang pajak PPh dan PPn yang dibayarkan kepada negara dalam pengadaan AW-101 sehingga sejatinya tidak ada kerugian negara.
“Ketiga, majelis hakim tinggi juga bersikap tidak profesional dengan tetap melakukan musyawarah seolah-olah berdasarkan berkas perkara yang diterima makanya dibuat putusan. Padahal faktanya putusan dibuat oleh Majelis Hakim Tinggi tanpa adanya berkas perkara dari pengadilan tingkat pertama. Sikap tidak profesional majelis hakim tinggi ini paling fatal dan menunjukkan adanya dugaan rekayasa untuk menghukum terdakwa, sebab bukti pada surat pengantar petikan putusan yang ditandatangani Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kepada Panitera PN Jakpus disebutkan bahwa berkas perkara tindak pidana pada Bundel A tidak dikirim oleh PN Jakpus. “Artinya, Majelis Hakim Tinggi saat melakukan musyawarah dalam pengambilan putusan hanya dengan cara ‘tutup mata’, main “bim salabim’,” terangnya.
Terhadap laporannya itu, Iskandar berharap KY dan Bawas MA memeriksa pihak-pihak yang dilaporkan tersebut terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, demi terwujudnya hukum yang berkeadilan dan berkemanfaatan serta mempunyai kepastian serta menjamin hak-hak hukum setiap warga negara sesuai dengan amanat konstitusi dan tujuan negara hukum.