Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

VIDEO EKSKLUSIF Sekjen PBB: Banyak Orang Gila karena Gagal Caleg Akibat Proposional Terbuka

PBB tetap mendorong mahkamah konstitusi (MK) agar Pemilu 2024 menggunakan sistem proposional tertutup.

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menggelar sidang uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi terkait gugatan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022.

Gugatan tersebut, pada intinya, menggugat penerapan Sistem Proporsional Terbuka dalam pemilihan legislatif di Pemilu 2024.

Diketahui, sejumlah partai politik menolak penerapan Proporsional Tertutup pada Pemilu 2024. Di mana, sejumlah partai itu adalah Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, NasDem, Gerindra dan PAN.




Sedangkan hanya PDI Perjuangan (PDIP) yang tetap menilai bahwa Proporsional Tertutup merupakan sistem terbaik dalam Pemilu. Tak hanya PDIP, Partai Bulan Bintang (PBB) pun memiliki pandangan yang sama.

Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (Sekjen PBB) Afriansyah Noor menegaskan pihaknya tetap mendorong mahkamah konstitusi (MK) agar Pemilu 2024 menggunakan sistem proposional tertutup.

Menurut Afriansyah, sistem proposional terbuka yang digunakan saat ini membuat sejumlah orang jadi gila karena tak lolos saat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (Caleg).

Hal itu diungkapkan Afriansyah Noor saat wawancara eksklusif dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Selasa (31/1/2023).

BERITA TERKAIT

"Di zaman terbuka ini banyak orang-orang gila yang muncul karena gagal nyaleg," kata Afriansyah.

Afriansyah pun mencotohkan beberapa kasus seperti ada Caleg yang menyumbang keramik hingga seng atap lalu dibongkar.

Dia menuturkan sistem Pemilu proposional terbuka juga memakan biaya yang cukup tinggi.

Apalagi, ada kemungkinan besar sesama daerah pemilihan diperebutkan lima orang dalam satu partai yang sama.

Selain itu, dia mengungkapkan jika melalui sistem Pemilu proposional terbuka bahwa nomor urut tidak menjadi patokan karena sistem suara terbanyak.

Afriansyah menjelaskan dengan mensosialisasikan dirinya, maka program partai tidak berjalan.

Bahkan, sejumlah spanduk yang terpampang hanya mensosialisasikan individu Caleg, bukan program partai.

Lebih lanjut, Afriansyah menambahkan jika sistem Pemilu proposional terbuka juga menimbulkan pragmatisme di kalangan masyarakat.

Tak hanya itu, Caleg yang memiliki dana yang banyak melakukan sosialisasi ke masyarakat lalu bawa sesuatu dan akan tandai dan catat oleh masyarakat.

Afriansyah juga menjelaskan jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menganggarkan sekitar 70 triliun untuk Pemilu 2024, sementara saat proporsional tertutup sebelumnya anggaran hanya sekitar 20 sampai 22 triliun.

Berikut hasil wawancara lengkap Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor terkait sikap partainya dalam melihat sistem Proporsional Tertutup san Terbuka:

Pak Afriansyah, sekarang ini muncul tarik menarik diskursus mengenai sistem pemilu. Karena kita semua tentu PBB juga kepingin lolos dari parlemen threshold di pemilu 2024 mendatang. Tarik menariknya adalah proposional terbuka dan proporsional tertutup. Buat PBB mana yang lebih nyaman?

Kita pernah mengalami proposional tertutup 1999 sampai dengan 2009, kemudian dilanjutkan dengan proposional terbuka 2009 sampai dengan 2019, artinya dua pelajaran ini merupakan hal yang Pernah kami rasakan.

Nah oleh karena itu dengan tiga periode kemarin 2009 sampai 2019, PBB betul-betul mengalami kesulitan mas Febby. Kesulitan bagaimana? Pertama, partai ini bukan partai yg ada sponsor, ada pembiayaan yang jelas, kemudian juga dengan sistem terbuka ini tentunya rekrutmen Caleg pun sangatlah bersaing dan kebetulan karena kami tidak lolos PT 4 persen, Sehingga untuk mereka caleg potensial ini berpikir 'kalau saya nyaleg dari PBB apakah saya bisa lolos' dengan modal yang saya keluarkan, dengan dana yang saya keluarkan, dengan sosialisasi yang tidaklah murah'.

Oleh karena itu, kami ketika tahu ada perorangan yang menggugat, yang menggugat sistem terbuka ini menjadi sistem tertutup kami mencoba membantu sebagai pihak terkait.

Karena perorangan ini biasanya di mahkamah konstitusi itu ada klausul dan ada pengalaman bahwa kalau dia tidak mempunyai legal standing dia akan tidak diterima oleh MK.

Nah oleh karena itu kami maju sebagai pihak yang mempunyai legal standing. Karena kami diputuskan sebagai peserta pemilu dan kami punya hak untuk menuntut itu.

Nah ternyata di belakang perorangan ini ada PDIP yang memberikan dukungan. Nah akhirnya kita komunikasi dengan teman-teman PDIP, PDIP memberikan support untuk kita membantu perorangan tadi dengan catatan PBB menjadi pihak terkait, majulah kita.

Nah saya dan Pak Yusril mendaftarkan itu beberapa Minggu lalu, sudah diterima dan Kami sudah menjadi pihak terkait dan kita menunggu sidang.

Nah kemarin terakhir dengan sidang memanggil anggota DPR atau fraksi di DPR dan pemerintah sudah menyatakan dan ke depan ini MK akan memanggil orang perorangan tadi memberikan keterangan kemudian barulah masuk ke dalam sebagai pihak terkait.

Pak, bisa dijelaskan nggak plusnya dulu sama minusnya proposional tertutup ini?

Jadi terbuka, itu banyak lah minusnya. Minusnya yang Pertama, biaya tinggi. Sesama Dapil itu misalkan kursi yang diperebutkan lima, itu lima-limanya ini bertarung keras bagaimana supaya mereka dapat suara terbanyak dari partai yang sama.

Kemudian nomor urut tidak menjadi patokan karena sistem suara terbanyak. Partai pun diabaikan, otomatis kan orang akan mensosialisasikan dirinya. Pak Febby, nomor satu, Pak Afriansyah Feri nomor dua. Nah mensosialisasikan dirinya.

Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra (kiri) saat melakukan wawancara dengan Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor (kanan) di Studio Tribun Network, Jakarta, Selasa (31/1/2023). TRIBUNNEWS/NICO MANAFE
Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra (kiri) saat melakukan wawancara dengan Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor (kanan) di Studio Tribun Network, Jakarta, Selasa (31/1/2023). TRIBUNNEWS/NICO MANAFE (TRIBUNNEWS/IMANUEL NICOLAS MANAFE)

Nah tentunya dengan sosialisasi dirinya ini Program dari partainya itu tidak berjalan. Apakah kita pernah menemukan bahwa spanduk caleg atau baliho itu menjelaskan program ini, tidak. Nah ini timbullah persoalan, sudah biaya tinggi, kemudian Mekanisme itu yang kita lakukan dalam rangka memperebutkan lima kursi tadi di dapil yang sama berebut, tentunya ini membuat hal yang tidak baik.

Kemudian masyarakat akhirnya pragmatisme, timbullah keinginan masyarakat 'siapa yang punya uang kita pilih'. Tentunya yang punya uang yang bersosialisasi ke bawah bawa sesuatu neraka akan tandai dan catat dan mereka akan pilih. Nah caleg yang potensial artinya punya nama tapi tidak punya uang turun ke bawah model saya ini mungkin tidak laku. Dan perlu diingat, di zaman terbuka ini banyak orang-orang gila yang muncul karena gagal nyaleg.

Mas Febby pernah lihat? Sudah nyumbang mesjid, sumbang keramik, nyumbang seng atap, nyuruh bongkar. Pernah kan? Ini adalah sistem terbuka sehingga polarisasi uang itu luar biasa.

Dan yang kedua KPU itu 2024 ini mencoba menganggarkan sekitar 70 sekian triliun. Sementara di zaman dulu itu cuma sekitar 20, 22. Tidak besar. Karena kenapa? Surat suaranya lah, kemudian setiap Dapil, nama beda itu kan cetak print beda lagi. Beda-beda. Mas di dapil saya, terus pindah lagi ke dapil sana itu kan beda-beda. Itu membuat cetakan mahal bos. Kita kan sudah tahu dalam mencetak itu kan kalau sekian ratus ribu dicetak dengan print yang sama dengan cetakan sama, murah. Tapi kalau merubah lagi artinya kan membuat baru, ini lah yang membuat biaya cost tinggi.

Jadi kerugiannya Cost-nya tinggi ya?

Cost-nya tinggi itu dalam segi ekonomi. Tapi dalam segi rekrutmen yang jadi, caleg yang punya uang yg punya kepentingan yg artinya tidak sesuai dengan harapan masyarakat, tentunya mereka hanya menjadikan alat, jembatan supaya mereka berkuasa, Kemudian mereka jga bisa seenaknya saja.

Caleg-caleg ini muncul karena memang tidak pernah dikaderisasi di partai, jadi caleg punya uang daftar ke partai tertentu terus dia punya uang dan diberikan janji manis juga, akhirnya diberikan nomor urut berapa aja.

Tidak penting nomor urutnya?

Gak penting nomor urut berapa, yang penting saya masuk sebagai caleg mau nomor buncit juga gapapa. Nah kemudian akhirnya orang berprediksi seperti itu, kualitas caleg.

Sekarang ini saya punya data, kemarin juga saya bicara di salah satu media, itu 2019 kemarin dari 575 anggota DPR RI yang sekarang terpilih, ini kita punya data. 146 berasal dari pengusaha, kemudian 380 itu mantan pejabat, anak pejabat, mantan kepala daerah, istri kepala daerah, ataupun mantu kepala daerah. Hanya 25 orang yang berasal dari aktivis ataupun juga jurnalis atau advokat.

Model Mas Febby mau nyaleg, sulit mas. Apalagi kita gak punya uang, nah sisanya (anggota DPR RI) itu pensiunan TNI polri dll. Nah inilah yang membuat kualitas anggota DPR RI sekarang menjadi tidak bermakna. Ada (yang berkualitas) tapi tidak banyak. Jadi inilah yang menjadikan Caleg-caleg terpilih tadi tidak mewakili atau tidak menjadikan sebagai anggota dewan yang memikirkan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Pak Afriansyah, ada orang berpendapat bahwa dengan sistem proposional tertutup ini maka kekuasan itu ada di pengurus partai atau ketua-ketua partai baik di tingkat pusat Maupun di daerah-daerah karena dialah nanti yg akan bisa menentukan siapa yang jadi urut teratas, leher maupun sepatu?

Jadi begini kalau partai bulan bintang ada mekanisme.

Untuk menciptakan fairness itu yah?

Ya menciptakan fairness tadi kita punya aturan, punya credit punya poin. Yang mana poin" ini pertama, klo Anda mau nomor satu tentunya kategorinya adalah pengurus partai.

Oh gitu yah karena dia memberikan kontribusi untuk partai?

Dia bekerja dong, dan mensosialisasikan partai. Yang kedua di PBB itu ada kriteria lagi, ikut pelatihan-pelatihan yang bersifat kaderisasi, ya kan? Yang ketiga, mereka punya karya tulis dia media atau bagaimana, bicara masalah hukum, bicara masalah ekonomi, bicara masalah yang lain-lain.

Karena bagaimanapun fungsi DPR itu kan sebagai pengawasan, budgeting dan pembuat regulasi. Nah ini harus. Nah inilah yang diperlukan PBB. Sehingga tadi yang dikatakan 'nanti partai yang berkuasa' lah memang kita menempatkan kader" terbaik kok. Dan bukan ketika saya pengurus partai, terus anak saya bisa jadi caleg, tidak belum tentu, di PBB yah.

Tapi kalau anak saya punya potensi, klasifikasinya sudah sesuai dengan aturan partai yang dibuat oleh Bappilu yang membuat, itu monggo silakan. Jadi tidak ada istilahnya 'nanti partai yang berkuasa', oh tidak.

Yang kedua, dengan sistem Terbuka banyak lahir para koruptor. Tapi yang disalahkan bukan partainya, kenapa? Ketika di pemilihan lagi partainya tetap dipilih lagi.

Mas Febby, jadi harusnya ketika saya salah dari bulan bintang dan dihukum oleh negara karena kasus saya, tentunya yang bersalah bukan hanya saya, tapi juga partai saya. Partai saya perlu mendapatkan hukuman modal untuk tidak dipilih untuk 5 tahun lagi.

Karena 'oh itu kader A korupsi, bukan Feri-nya tapi kader partai. Tapi yang dilihat sekarang kan bukan kadernya, tapi orangnya termasuk juga kepala daerah. Kepala daerah kan bukan partai yang mengusung (korupsi), tapi peribadinya dia. Karena di situ kan ada partai pengusung dan bahkan kader atau kepala daerah itu berasal dari partai tertentu. Nah ini yang harus kita pilah.

Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor saat mengikuti sesi wawancara dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Studio Tribun Network, Jakarta, Selasa (31/1/2023). TRIBUNNEWS/NICO MANAFE
Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor saat mengikuti sesi wawancara dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Studio Tribun Network, Jakarta, Selasa (31/1/2023). TRIBUNNEWS/NICO MANAFE (TRIBUNNEWS/IMANUEL NICOLAS MANAFE)

Jadi begini, menurut saya Terbuka ada plusnya ada minusnya, tertutup juga sama. Tapi lebih banyak plusnya (tertutup), kira kita harus sama-sama realistis, jangan dipukul rata. Saya menyadari ketakutan teman-teman dengan tertutup ini, ada isu bahwa kewenangan partai.

Lah memang di terbuka memang tidak punya kewenangan partai? Ini partai menentukan kan untuk calon A itu masuk Caleg apa tidak. Bahkan, terbuka itu bisa suaranya dimain-mainkan. (Misalnya) Mas Febby suaranya 2 ribu, saya 2.100 bisa terbalik nanti itu. Ini terjadi.

Nah inilah yang yang harus kita buat sistem" ini yang memang perlu dikaji oleh mahkamah konstitusi yang punya pengalaman. MK ini kan sudah banyak menyidangkan kasus-kasus legislatif, kasus-kasus Pilkada dll. Nah tentunya dengan pengalaman ini MK punya keputusan yang objektif.

Jadi bukan 1 lawan 8, bukan. Ini Bagaimana kebijakan ini bisa baik untuk rakyat Indonesia sebagai proses demokrasi sistem presidensiil. Ini kan sistem presidensil. (Tribun Network/Yuda)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas