Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Catat, 31 Mei 2024 Batas Akhir bagi Anak-anak Berkewarganegaraan Ganda untuk Jadi WNI

Jumat, 31 Mei 2024 menjadi batas waktu bagi anak-anak berkewarganegaraan ganda untuk mengajukan permohonan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Catat, 31 Mei 2024 Batas Akhir bagi Anak-anak Berkewarganegaraan Ganda untuk Jadi WNI
dok.
Talkshow “Satu Tahun Lagi! Kesempatan Menjadi WNI Bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda yang Terlambat Memilih. Memahami PP Nomor 21 Tahun 2022.” 

Laporan Wartawan Tribunnews, Hasiolan Eko Purwanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jumat, 31 Mei 2024 menjadi batas waktu bagi anak-anak berkewarganegaraan ganda untuk mengajukan permohonan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).

Hal itu diungkapkan Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Baroto dalam talkshow bertajuk “Satu Tahun Lagi! Kesempatan Menjadi WNI Bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda yang Terlambat Memilih. Memahami PP Nomor 21 Tahun 2022”, belum lama ini.

Talkshow ini didasari permasalahan krusial yang dialami para anak berkewarganegaraan ganda.

Seperti yang diketahui, Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, hanya mengenal kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan ganda terbatas.

WNI yang memiliki kewarganegaraan ganda terbatas adalah anak hasil perkawinan campuran antara WNI dan Warga Negara Asing (WNA).

Dikatakan terbatas karena ketika berusia 18 tahun, atau paling lambat 21 tahun, anak yang memiliki kewarganegaraan ganda tersebut harus memilih apakah akan menjadi WNI, atau WNA.

BERITA REKOMENDASI

Permasalahan yang cukup krusial saat ini masih terdapat anak hasil perkawinan campur yang tidak didaftarkan orang tuanya atau sudah mendaftar tetapi terlambat melakukan pilihan.

Sesuai ketentuan undang-undang anak tersebut akan terancam menjadi orang asing atau WNA. Hal ini akan menjadi permasalahan kompleks dan tidak sesuai semangat perlindungan dan kepastian hukum.

“Kemenkumham berkomitmen untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap anak-anak hasil perkawinan campur, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia (PP Nomor 21 Tahun 2022). Terhadap anak-anak tersebut diberikan kemudahan persyaratan dan diberikan perpanjangan waktu untuk mengajukan permohonan menjadi WNI dalam jangka waktu 2 tahun (sejak tanggal 31 Mei 2022 sampai dengan 31 Mei 2024)”, ujar Direktur Tata Negara, Baroto dikutip Senin (5/6/2023).

Baca juga: Pemerintah Pertimbangkan Akomodir Status Kewarganegaraan Ganda, Ini Respons APAB

Dia berharap talkshow ini dapat menjadi media sosialisasi penerapan PP Nomor 21 Tahun 2022 sehingga anak-anak hasil perkawinan campur yang belum mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan Indonesia segera mengajukan permohonan untuk menjadi WNI kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.

"Permohonan diajukan melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM sesuai dengan tempat tinggal pemohon, dan mohon diingat bahwa kesempatan ini hanya sampai 31 Mei 2024, satu tahun lagi,” ujarnya.

Sebagai informasi talkshow ini diinisiasi Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) dengan menggandeng Kemenkumham melalui Ditjen AHU.

Baca juga: APAB Usul Kewarganegaraan Ganda untuk Keluarga Hasil Perkawinan Campuran

Selain Baroto, diskusi menghadirkan sejumlah narasumber lain yaitu Ketua Djokosoetono Research Center & Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr Patricia Rinwigati, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan PhD Candidate di VVI-Leiden University, Bilal Dewansyah.

Selain itu ada pula Richard Kyle, figur publik yang jadi bagian dari keluarga perkawinan campur serta Nia Schumacher, Ketua APAB selaku Moderator pada kegiatan ini.

Dalam diskusi tersebut, Bilal Dewansyah, mengatakan, PP Nomor 21 Tahun 2022 sejatinya bukan skema ideal untuk melindungi status kewarganegaraan keluarga perkawinan campuran.

Negara tetangga Indonesia, Thailand dan Filipina misalnya, bahkan membolehkan dwi kewarganegaraan secara permanen, bukan hanya bagi anak, tetapi juga bagi orang tuanya.

"Tapi untuk saat ini, PP ini setidaknya telah memberikan alternatif perlindungan bagi anak dari perkawinan campuran untuk mendapatkan haknya kembali menjadi WNI berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan 2006," ujar Bilal.

Adapun Patricia Rinwigati menyampaikan apresiasinya terhadap terobosan ini sebagai salah satu langkah yang berani dari AHU.

Baca juga: Polemik Kewarganegaraan Ganda Orient Patriot Riwu, Mantan Hakim MK Usulkan Dual Citizenship

Namun dia mengeluarkan kekhawatiran tentang waktu yang sangat sempit, mengingat kelengkapannya yang amat beragam serta belum mengakomodir anak yang tinggal di luar negeri yang ingin kembali menjadi WNI.

"Setelah hampir 20 tahun UU Nomor 12 Tahun 2006, sudah waktunya untuk merevisi UU ini, setidaknya untuk mengakomodir dampak dari globalisasi. Dalam konteks tersebut, dia menghimbau agar dapat dipertimbangkan lagi kewarganegaraan ganda untuk mengakomodir tuntutan masyarakat yang semakin mobile," kata dia.

Pendapat menarik disampaikan oleh Richard Kyle yang ber-ibukan WNI dan ayah WNA Australia.

Sebagai anak dari keluarga perkawinan campuran, Richard merasakan keterbatasan peraturan, apalagi karena sekarang ia lebih banyak berada di Indonesia.

Richard menyadari bahwa dia tidak termasuk menjadi subjek PP 21 ini karena usianya yang sudah melewati batas, namun dia berharap Pemerintah dapat memikirkan solusi terbaik dan terjangkau, terlebih dia yang lahir dari ibu WNI, agar tidak disamakan dengan WNA murni.

Richard yang menyelesaikan pendidikan dari RMIT University ini juga mengimbau kepada anak-anak Berkewarganegaraan Ganda lainnya untuk bisa memanfaatkan waktu satu tahun jika mereka ingin menjadi WNI.

Penutup diskusi, Nia Schumacher menyampaikan apresiasi PP yang dikeluarkan pemerintah sebagai bagian dari upaya perlindungan pemerintah terhadap anak-anak dari keluarga perkawinan campuran.

"Namun jika melihat dari diskusi pembahasan hari ini, dengan sisa waktu yang tinggal 1 tahun mungkin tidak cukup, mengingat pemahaman terhadap PP ini belum begitu menyeluruh," kata dia.

Di sisi lain, tambahnya, masih banyak anak-anak lain yang tidak termasuk dalam PP ini, dan ketika mereka ingin memilih kewarganegaraan Indonesia, harus menempuh naturalisasi.

"Padahal mereka adalah bagian dari keluarga Indonesia, namun proses naturalisasinya disamakan dengan WNA murni. Bukan hanya prosesnya yang tidak mudah, namun biaya yang harus dikeluarkan pun tidak sedikit. Nia berharap Pemerintah juga dapat memikirkan nasib anak-anak ini. Jika tidak, banyak potensi dari anak-anak tersebut bisa hilang dari negara ini," kata dia. (*/)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jumat, 31 Mei 2024 menjadi batas waktu bagi anak-anak berkewarganegaraan ganda untuk mengajukan permohonan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).

Hal itu diungkapkan Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Baroto dalam talkshow dalam jaringan bertajuk “Satu Tahun Lagi! Kesempatan Menjadi WNI Bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda yang Terlambat Memilih. Memahami PP Nomor 21 Tahun 2022”, belum lama ini.

Talkshow ini didasari permasalahan krusial yang dialami para anak berkewarganegaraan ganda.

Seperti yang diketahui, Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, hanya mengenal kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan ganda terbatas.

WNI yang memiliki kewarganegaraan ganda terbatas adalah anak hasil perkawinan campuran antara WNI dan Warga Negara Asing (WNA).

Dikatakan terbatas karena ketika berusia 18 tahun, atau paling lambat 21 tahun, anak yang memiliki kewarganegaraan ganda tersebut harus memilih apakah akan menjadi WNI, atau WNA.

Permasalahan yang cukup krusial saat ini masih terdapat anak hasil perkawinan campur yang tidak didaftarkan orang tuanya atau sudah mendaftar tetapi terlambat melakukan pilihan.

Sesuai ketentuan undang-undang anak tersebut akan terancam menjadi orang asing atau WNA.

Hal ini akan menjadi permasalahan kompleks dan tidak sesuai semangat perlindungan dan kepastian hukum.

“Kemenkumham berkomitmen untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap anak-anak hasil perkawinan campur, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia (PP Nomor 21 Tahun 2022). Terhadap anak-anak tersebut diberikan kemudahan persyaratan dan diberikan perpanjangan waktu untuk mengajukan permohonan menjadi WNI dalam jangka waktu 2 tahun (sejak tanggal 31 Mei 2022 sampai dengan 31 Mei 2024)”, ujar Direktur Tata Negara, Baroto dikutip Senin (5/6/2023).

Dia berharap talkshow ini dapat menjadi media sosialisasi penerapan PP Nomor 21 Tahun 2022 sehingga anak-anak hasil perkawinan campur yang belum mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan Indonesia segera mengajukan permohonan untuk menjadi WNI kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.

"Permohonan diajukan melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM sesuai dengan tempat tinggal pemohon, dan mohon diingat bahwa kesempatan ini hanya sampai 31 Mei 2024, satu tahun lagi,” ujarnya.

Sebagai informasi talkshow ini diinisiasi Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) dengan menggandeng Kemenkumham melalui Ditjen AHU.

Selain Baroto, diskusi menghadirkan sejumlah narasumber lain yaitu Ketua Djokosoetono Research Center & Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr Patricia Rinwigati, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan PhD Candidate di VVI-Leiden University, Bilal Dewansyah.

Selain itu ada pula Richard Kyle, figur publik yang jadi bagian dari keluarga perkawinan campur serta Nia Schumacher, Ketua APAB selaku Moderator pada kegiatan ini.

Dalam diskusi tersebut, Bilal Dewansyah, mengatakan, PP Nomor 21 Tahun 2022 sejatinya bukan skema ideal untuk melindungi status kewarganegaraan keluarga perkawinan campuran.

Negara tetangga Indonesia, Thailand dan Filipina misalnya, bahkan membolehkan dwi kewarganegaraan secara permanen, bukan hanya bagi anak, tetapi juga bagi orang tuanya.

"Tapi untuk saat ini, PP ini setidaknya telah memberikan alternatif perlindungan bagi anak dari perkawinan campuran untuk mendapatkan haknya kembali menjadi WNI berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan 2006," ujar Bilal.

Adapun Patricia Rinwigati menyampaikan apresiasinya terhadap terobosan ini sebagai salah satu langkah yang berani dari AHU.

Namun dia mengeluarkan kekhawatiran tentang waktu yang sangat sempit, mengingat kelengkapannya yang amat beragam serta belum mengakomodir anak yang tinggal di luar negeri yang ingin kembali menjadi WNI.

"Setelah hampir 20 tahun UU Nomor 12 Tahun 2006, sudah waktunya untuk merevisi UU ini, setidaknya untuk mengakomodir dampak dari globalisasi. Dalam konteks tersebut, dia menghimbau agar dapat dipertimbangkan lagi kewarganegaraan ganda untuk mengakomodir tuntutan masyarakat yang semakin mobile," kata dia.

Pendapat menarik disampaikan oleh Richard Kyle yang ber-ibukan WNI dan ayah WNA Australia.

Sebagai anak dari keluarga perkawinan campuran, Richard merasakan keterbatasan peraturan, apalagi karena sekarang ia lebih banyak berada di Indonesia.

Richard menyadari bahwa dia tidak termasuk menjadi subjek PP 21 ini karena usianya yang sudah melewati batas, namun dia berharap Pemerintah dapat memikirkan solusi terbaik dan terjangkau, terlebih dia yang lahir dari ibu WNI, agar tidak disamakan dengan WNA murni.

Richard yang menyelesaikan pendidikan dari RMIT University ini juga mengimbau kepada anak-anak Berkewarganegaraan Ganda lainnya untuk bisa memanfaatkan waktu satu tahun jika mereka ingin menjadi WNI.

Penutup diskusi, Nia Schumacher menyampaikan apresiasi PP yang dikeluarkan pemerintah sebagai bagian dari upaya perlindungan pemerintah terhadap anak-anak dari keluarga perkawinan campuran.

"Namun jika melihat dari diskusi pembahasan hari ini, dengan sisa waktu yang tinggal 1 tahun mungkin tidak cukup, mengingat pemahaman terhadap PP ini belum begitu menyeluruh," kata dia.

Di sisi lain, tambahnya, masih banyak anak-anak lain yang tidak termasuk dalam PP ini, dan ketika mereka ingin memilih kewarganegaraan Indonesia, harus menempuh naturalisasi.

"Padahal mereka adalah bagian dari keluarga Indonesia, namun proses naturalisasinya disamakan dengan WNA murni. Bukan hanya prosesnya yang tidak mudah, namun biaya yang harus dikeluarkan pun tidak sedikit. Nia berharap Pemerintah juga dapat memikirkan nasib anak-anak ini. Jika tidak, banyak potensi dari anak-anak tersebut bisa hilang dari negara ini," kata dia. (*/)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas