VIDEO Demo di DPR, Dokter dan Perawat Ancam Mogok Nasional Tolak RUU Kesehatan
Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Beni Satria mengatakan pihaknya akan melakukan mogok nasional apabila tuntutan mereka tak direspons pemerin
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ribuan tenaga kesehatan dan tenaga medis (termasuk dokter dan perawat) menggelar aksi demonstrasi menolak pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2023).
Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Beni Satria mengatakan pihaknya akan melakukan mogok nasional apabila tuntutan mereka tak direspons pemerintah dan DPR RI.
Hal itu disampaikan Beni kepada wartawan di lokasi, Senin siang.
"Setelah ini kami menginstruksikan seluruh anggota untuk mogok kalau pemerintah tetap tidak menggubris dan tidak mengindahkan apa tuntutan kamu hari ini," kata Beni.
Menurut Beni, pihaknya telah melayangkan tuntutan tersebut kepada pemerintah dan DPR sejak 28 hari yang lalu.
"Tetapi pemerintah masih punya gunjingan bersama DPR untuk membahas itu tanpa melibatkan kita sebagai organisasi yang resmi yang sudah tegas disebutkan di dalam undang-undang No. 29 tahun 2004," tegasnya.
Dia menegaskan pihaknya juga menanyakan alasan DPR mengenai dihapusnya organisasi profesi dalam RUU Kesehatan.
"Yang ingin kita mintakan, kenapa undang-undang eksisting profesi yang sudah mengatur seluruh organisasi profesi itu harus dihapuskan dan dicabut," ungkap Beni.
Beni juga menekankan RUU Kesehatan tersebut harus mengakomodir perlindungan terhadap nakes dan medis.
"Masih tetap terjadi penganiayaan terhadap tenaga kesehatan, perawat, bidan dokter yang dianiaya dalam memberikan pelayanan kesehatan," imbuhnya.
Lima organisasi profesi yang menggelar aksi ini terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Tuntutan Para Dokter dan Perawat
Pada unjuk rasa yang sama bulan lalu, para tenaga kesehatan menilai pembahasan RUU Kesehatan telalu terburu-buru.
Selain itu, banyak poin di dalam RUU Kesehatan juga menuai kritikan.
Berikut 5 alasan RUU Kesehatan menuai banyak penolakan seperti dirangkum dari Kompas.com:
1. Pembahasan dinilai tidak transparan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembahasan RUU Kesehatan tidak transparan dan terkesan terburu-buru.
Bagi IDI, sikap pemerintah yang seolah-olah tidak tertutup ini menimbulkan kecurigaan pada masyarakat mengenai agenda utama dalam pembahasan RUU Kesehatan, dikutip dari pemberitaan
Menurut Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Mahesa Pranadipa Maikel, regulasi atau undang-undang harus mengikuti prosedur yang terjadi yaitu terbuka kepada masyarakat.
"Pertama adalah proses terbitnya sebuah regulasi dalam hal ini Undang-undang. Harus mengikuti prosedur yang terjadi yaitu terbuka transparan kepada masyarakat," kata Mahesa dikutip dari Kompas.com (28/11/2022).
2. Penghapusan peran organisasi profesi
Selain itu IDI menilai, RUU Kesehatan dapat menghapus peran organisasi profesi dalam hal ini adalah pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi dan Surat Tanda Registrasi (STR).
Padahal, STR seluruh tenaga kesehatan harus diregistrasikan di konsil masing-masing yang akan dievaluasi setiap lima tahun sekali.
Dalam RUU Kesehatan, STR disebut akan berlaku seumur hidup, sehingga berpotensi mengurangi mutu tenaga kesehatan.
3. Berpotensi pecah belah organisasi profesi
IDI mengatakan, RUU Kesehatan Omnibus Law ini juga berpotensi memecah belah organisasi profesi kesehatan.
Sebab ada kata "jenis" dan "kelompok" terkait pengaturan organisasi profesi kesehatan dalam RUU tersebut.
"Ada indikasi dipecah belahnya kami organisasi profesi, bahwa kami di kedokteran hanya satu, IDI, PPNI hanya satu, IAI juga sama, IPI juga sama, ada klausul yang dimungkinkan memecah belah kami," kata Wakil PD IDI Slamet Budiarto, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (16/1/2023).
Hal ini menurutnya bertentangan dengan putusan MK No.82/PUU-XII/2015 yang telah menetapkan satu organisasi untuk masing-masing profesi kesehatan.
4. Kewenangan BPJS di bawah menteri
Dalam RUU Kesehatan, kewenangan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan kini tak lagi berada di bawah presiden, melainkan menteri.
Begitu pula dengan proses penyampaian laporan pengawasan penyelenggaraan jaminan sosial juga harus melalui menteri, yakni Menteri Kesehatan (BPJS Kesehatan) dan Menteri Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).
Inspir Indonesia atau Yayasan Perlindungan Sosial Indonesia menilai, hal ini menjadi kontraproduktif bagi kedua BPJS.
"Kedua BPJS mengelola dana masyarakat bukan dana APBN/APBD. Oleh karenanya, pengelolaan dana masyarakat ini harus terhindar dari intervensi pihak lain seperti menteri," kata Ketua Inspir Indonesia Yatini Sulistyowati, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (19/2/2023).
"Kalaupun ada dana APBN dan APBD yang dibayarkan ke BPJS, itu merupakan kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk membayar iuran JKN bagi masyarakat miskin," sambungnya.
5. Perbolehkan dokter asing
RUU Kesehatan juga akan mengizinkan dokter asing bekerja di rumah sakit Indonesia secara terbatas.
Akan tetapi, dokter asing tersebut tidak bisa sembarangan bekerja di rumah sakit dan hanya boleh beroperasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dikutip dari Kompas.com (16/3/2023)
Dalam draft RUU tersebut, dokter asing juga harus mengikuti uji kompetensi sebelum berpraktik di Indonesia.
Uji kompetensi itu mulai dari penilaian kelengkapan administrasi dan penilaian kemampuan praktik.
Atas rencana itu, IDI menganggap sumber daya manusia (SDM) bidang kedokteran Indonesia sudah cukup, tetapi harus dioptimalkan.
Dibandingkan impor dokter asing, IDI meminta agar pemerintah lebih fokus memperbaiki konsep pelayanan kesehatan.(Tribunnews.com/Fersianus Waku)